Antara ‘Praktisi’ Dakwah dan ‘Praktisi’ Ngaji
Saat ini dakwah telah melalui berbagai fase dan dinamika. Banyak yang bergabung, banyak pula yang berguguran satu demi satu. Layaknya daun dari pohonnya, ada yang gugur ada pula pengganti barunya. Namun dakwah tetaplah dakwah. Sebuah aktivitas mulia yang diamanahkan langsung oleh Allah SWT dan diwariskan Rasulullah SAW kepada umat beliau yang terpilih.
Dakwah adalah aktivitas menyeru kepada Islam dan amar ma’ruf – nahyi munkar. Bagi orang yang melibatkan diri di dalamnya akan mendapatkan kemuliaan dan balasan langsung dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolong dan mengokohkan kedudukannya.”(TQS. Muhammad : 7)
Aktivitas ini juga merupakan syarat utama untuk menjadikan umat Islam selamat, menjadi umat terbaik, bahkan sebagai jalan menuju diterapkannya Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Allah SWT berfirman:
“Kamu adalah umat terbaik (khairu ummah) di antara manusia, yang menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (TQS. Ali Imran : 110)
Umat Islam tidak akan menjadi yang terbaik kecuali dengan Islam yang kaffah, dan Islam yang kaffah hanya bisa terwujud dengan aktivitas dakwah.
Disadari bahwa dakwah ini pun adalah fardlu bagi individu mukmin. Juga difardukan untuk mendirikan jama’ah dakwah, seperti dalam firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada al-Khair (Islam), menyuruh pada perkara ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali Imran : 104)
Inilah ketinggian dakwah dan penghargaan dari Allah SWT bagi para pengembannya. Dakwah adalah jalan yang panjang dan berat, oleh karenanya hanya dapat dilalui oleh orang yang kuat dan sabar. Dakwah adalah aktivitas penuh ujian dan cobaan, karenanya hanya mampu diemban oleh orang yang ikhlas dan istiqomah. Dakwah juga merupakan aktivitas yang dihitung prosesnya karena hasilnya adalah hak Allah SWT, maka hanya mereka yang yakin, bersungguh-sungguh serta bertawakal sajalah yang akan mendapatkan ridlo dan pertolongan-Nya.
Bedanya Pengemban Dakwah dan Pengemban Kitab
Sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa jika ingin berhasil dalam dakwah, kita harus mencontoh langsung dari Rasulullah SAW. Baik dari sisi pembinaan dan pengkaderan, perjuangan dan pengorbanan, hingga kesungguhan dan totalitas. Baik saat sendiri maupun ketika bersama tim.
Dakwah memerlukan pengerahan ekstra 100% yang dimiliki, bukan dengan sisa-sisanya. Dakwah memerlukan konsentrasi penuh, maka aktivitas lainnya haruslah menjadi penunjang dakwah dan bukan sebaliknya, menjadikan dakwah hanyalah sebagai pengisi kekosongan aktivitas lain. Inilah yang menjadi pemahaman sebenarnya, sehingga menjadi standar seseorang telah menjadi pengemban dakwah sejati.
Saat ini banyak sekali terlihat kekeliruan dan kesalah-pahaman di tengah umat. Ada yang berfikir bahwa dengan masuk ke dalam gerakan Islam kemudian mengkaji kitab-kitabnya (halqoh), sudah termasuk dalam kategori pengemban dakwah. Padahal sangat jelas, bahwa pengemban itu ialah orang yang senantiasa membawa/memikul sesuatu menuju tujuan tertentu.
Karenanya pengemban dakwah ialah yang senantiasa memikul dakwah, dalam arti menjadikan dakwah sebagai aktivitas utamanya dan selalu menunjukkan identitasnya (tanpa ditutup-tutupi) sebagai seseorang yang sedang melakukan dakwah kapanpun dan dimanapun.
Namun jika hanya sebatas memegang kitab dan dibaca semata (tanpa melakukan pengkajian mendalam untuk diamalkan dan disebarkan), maka ia lebih tepat menyandang gelar Ph.D alias Pengen Halqoh Doang atau lebih tepat masuk kategori ‘pengemban kitab’. Inilah orang yang biasanya hanya mengejar kepuasan intelektual semata, atau memang benar-benar telah terasuki virus individualis-pragmatis-opurtunis akut.
Bedanya Aktivis dan Pasifis
Selain itu, para pengemban kitab lebih cenderung disibukkan dengan aktivitas duniawi, dan dakwah hanyalah menjadi ‘persinggahan akhir’ dengan waktu, harta, fikiran, dan tenaga sisa. Maka sering kali terlihat fenomena kekosongan barisan pada saat-saat penting. Tidak terlihat aktivitas pergerakan hingga nampak menciptakan suatu sikon yang menghantarkan pada kevakuman. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, sementara dalam dakwah hanya sebagai ‘penumpang’ atau bahkan ‘pengungsi’ yang lebih banyak diam dan berpasrah menerima nasib dari hasil perjuangan yang lain.
Selain itu, para pengemban kitab lebih cenderung disibukkan dengan aktivitas duniawi, dan dakwah hanyalah menjadi ‘persinggahan akhir’ dengan waktu, harta, fikiran, dan tenaga sisa. Maka sering kali terlihat fenomena kekosongan barisan pada saat-saat penting. Tidak terlihat aktivitas pergerakan hingga nampak menciptakan suatu sikon yang menghantarkan pada kevakuman. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, sementara dalam dakwah hanya sebagai ‘penumpang’ atau bahkan ‘pengungsi’ yang lebih banyak diam dan berpasrah menerima nasib dari hasil perjuangan yang lain.
Alih-alih mengecap diri sebagai aktivis, sejatinya adalah orang yang ingin enak semata tanpa ingin merasakan pahit-getirnya perjuangan. Inilah para pasifis yang tidak pantas masuk ke dalam barisan dakwah, karena hanya akan menyita perhatian dan menguras daya-upaya dari yang lain yang lebih pantas dikerahkan keluar untuk memaksimalkan hasil dakwah.
Orang-orang yang hanya menjadi pengemban kitab semata dan memilih pasif dalam dakwah inilah, yang cenderung menjadi sasaran empuk syetan untuk dijadikan sebagai kendaraan dalam merusak dakwah dan perjuangan Islam. Mereka hanya bisa mengkritik orang lain, namun menolak mengkritik diri sendiri dan kritik orang lain padanya. Hanya mencari kejelekan dan kekurangan lain tanpa mengevaluasi diri sendiri.
Perusak dakwah selalu mencari pembenaran dalam kesalahannya, dan menutup diri dari introspeksi diri. Inilah para pecundang yang merasa dirinya sebagai pejuang. Terkadang melegalisir interaksi lawan jenis dengan alasan yang sangat dipaksakan dan dibuat-buat, akibatnya terjerumus dalam jurang yang dalam dan kelam. Dalam pembicaraannya tercampur kebohongan, janjinya tak lepas dari ingkar, amanah yang diemban disalah gunakan sehingga terjebak khianat.
Para pejuang dakwah adalah orang-orang yang memperjuangkan tegaknya kemuliaan dan kehormatan Islam dan kaum muslimin, maka kehormatan dan kemuliaan dirinya pun harus senantiasa dijaga. Kesalahan dan khilaf adalah temannya hidup, namun ampunan dan rahmat Allah SWT jauh lebih besar. Maka janganlah menutup diri dengan pembenaran akan maksiat-maksiat yang merusak diri dan dakwah, segeralah bergerak menuju ampunan dan syariat-Nya.
Bangkit dan berjuanglah dengan bersungguh-sungguh hingga kita layak menjadi orang-orang terbaik yang layak mendapatkan pertolongan dari-Nya. Rapatkan barisan, berjuang bersama menuju tegaknya Islam secara kaffah. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan menerima amal perjuangan kita.
Posting Komentar