Tak ada Pemisahan Agama dan Negara dalam Islam
Judicial review terhadap UU no.1/PNPS/1965 tentang penyalahgunaan dan/atau penodaan agama terus bergulir. Siapapun yang mengamati dan mendalami para penggugat, realitas materi gugatan dan jalan persidangan akan melihat bahwa landasan judicial review tersebut adalah sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis). Pertama: dilihat dari para penggugat mereka adalah orang dan lembaga yang selama ini mempropagandakan sepilis. Penggugat tersebut adalah imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara dan YLBHI. Secara individual, mereka terdiri dari Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo dan Maman Imanul Haq.Merekalah yang mendukung aliran sesat Ahmadiyah, menggugat UU Pornografi, mengkriminalkan nikah siri dan poligami sekaligus membolehkan homoseksual dan lesbianisme. Semua itu wujud propaganda mereka atas sepilis.
Kedua: materi gugatan untuk pengujian materil yang diajukan kaum liberal ini seluruhnya didasarkan pada sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis). Sekadar contoh, di dalam gugatannya tersebut mereka selalu berdalih dengan hak asasi manusia tentang kebebasan beragama. Pemaknaannya didasarkan pada International Covenant on Civil and Political Rights(Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang jelas-jelas dasarnya adalah sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
Mereka menghendaki aliran yang menyimpang dari agama tradisional (baca: agama asal) dianggap sebagai ’agama minoritas baru dalam komunitas agama mayoritas’ yang harus diakui. Ahmadiyah, Salamullahnya Lia Eden dan aliran menyimpang lainnya mereka masukkan bukan aliran sesat melainkan sebagai ’agama minoritas baru’ dalam komunitas umat Islam. Dalam gugatannya mereka menyebutkan (hlm. 26): “Maka dari itu, Komite Hak Sipil dan Politik memandang prihatin tendensi apapun untuk mendiskriminasi agama atau keyakinan apapun dengan alasan apapun, termasuk fakta adanya agama minoritas baru yang bisa jadi subjek permusuhan di dalam komunitas agama mayoritas.”
Lebih lanjut disebutkan (hlm. 27): “Bahwa kebebasan ‘memeluk’ suatu agama atau keyakinan meliputi pula kebebasan memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk berganti agama atau keyakinan dengan agama lainnya atau memeluk pandangan atheistik ….”
Ini merupakan hakikat pluralisme agama yang mereka serukan.
Mereka tidak ingin kesucian agama dilindungi. Keinginan mereka adalah melindungi kebebasan beragama dalam makna di atas. Mereka tidak mengenal istilah penodaan agama. Pada halaman 54 dalam materi gugatannya, mereka mengatakan: “Sehingga melindungi agama tidak mungkin karena tiadanya batas-batas untuk mengukur agama tersebut dinodai, dimusuhi dan disalahgunakan.”
Jelas sekali, landasan dan keyakinan mereka adalah sekularisme, memisahkan antara agama dan kehidupan, bahkan menolak sama sekali melindungi kesucian agama.
Ketiga: selama jalannya persidangan makin jelas bahwa landasan mereka adalah sepilis. Sebagai contoh, pada sidang tanggal 10 Maret 2010, ahli yang dihadirkan, Thamrin Tamagola, menyatakan dengan gamblang bahwa pembahasan UU no. 1/PNPS/1965 harus didasarkan pada pembedaan antara ilmuwan dan agamawan. Menurutnya, yang harus dijadikan dasar bukanlah agama melainkan realitas sosiologis (keilmuan). “Keyakinan agama harus ditaruh di tong sampah,” tambahnya.
Sebelumnya, dedengkot liberal dalam sidang Mahkamah Konstitusi 17/2/2010 menyamakan Rasulullah saw. dengan Lia Eden. Kenyataan ini makin menggambarkan bahwa landasan judicial review yang dilakukan oleh kaum liberal ini adalah sepilis, bahkan sepilis A+, yakni sekularisme, pluralisme, liberalisme, ateisme, plus penjajahan. Tidak mengherankan bila ahli dari pemerintah saat itu (10/3/2010) Prof. Mahdini menilai, “Pemohon tampaknya sedang tidak beragama, atau setidaknya sedang tidak mencintai agamanya, atau sedang mewakili pihak-pihak tertentu.”
Sekularisme Membahayakan Islam
Sekularisme merupakan akidah yang memisahkan agama dengan kehidupan masyarakat dan negara. Pluralisme dan liberalisme lahir dari akidah sekularisme ini. Secara imani, sekularisme berbahaya dan bertentangan dengan Islam. Bahkan sekularisme dapat menggiring penganutnya pada kekufuran.
Hal ini dapat dipahami dari beberapa hal. Pertama: sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, sedangkan Islam mewajibkan setiap kehidupan diatur oleh ajaran Islam. Boleh jadi seorang sekular secara ritual masih menjalankan ibadah, namun ia menolak hukum Islam dalam persoalan sosial, politik dan ekonomi. Padahal Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata kalian (QS al-Baqarah [2]: 108).
Imam Ibnu Katsir memaknai ayat itu dengan menyatakan, “Allah Zat Yang Mahatinggi berfirman dengan memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya lagi membenarkan Rasul-Nya agar mengambil semua buhul Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya seoptimal mungkin.” (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, I/565).
Di ruang pengadilan pun, paham sekularisme hanya menjadikan Islam sebagai pelengkap dan lelucon. Misalnya, ahli suatu perkara disumpah ’Demi Allah’ dengan diletakkan di atas kepalanya mushaf al-Quran. Namun, apa yang dia sampaikan tidak berdasarkan ajaran Islam, dengan alasan, ini bukanlah negara Islam.
Kedua: hukum dalam sekularisme dibuat oleh manusia, sedangkan hukum dalam Islam digali dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas Syar’i. Hukum sekular tidak digali dari Islam. Allah Zat Yang Mahatinggi melarang umat-Nya menerapkan hukum manusia dan mengancam mereka dengan siksa-Nya. Hal ini tegas sekali termaktub dalam firman-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (QS al-Maidah [5]: 49).
Ketiga: hukum dalam sekularisme dibuat oleh segelintir orang. Itu pun tidak dapat lepas dari kepentingan para pembuatnya. Hukum merupakan kompromi antarkepentingan. Muaranya, siapa kuat, dialah yang menang. Jadilah manusia sebagai serigala terhadap manusia lainnya (homo homini lupus). Keadilan pun hanya tinggal harapan. Sebaliknya, hukum Islam menjamin tercapainya keadilan karena berasal dari Zat Yang Mahaadil. Menerapkan sekularisme berarti meninggalkan hukum terbaik, yakni hukum Allah SWT, sebagaimana al-Quran menegaskan:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Sebagai contoh, pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia divonis bebas, padahal telah nyata-nyata memproduksi dan menyebarkan pornografi. Contoh lain, pengujian materil UU penodaan agama kaum liberal masih saja diladeni. padahal jelas-jelas tuntutannya adalah pembelaan terhadap penodaan dan penistaan Islam, yang tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Mestinya, tuntutan seperti itu tidak diterima sehingga tidak layak disidangkan. Jangan kecewa jika kelak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat kompromistis. Sebab, landasan hukum yang dipakainya memang sekularisme. Satu lagi, sekulerisme sering tidak konsisten, tergantung kepentingan. Mereka yang menuntut agar UU no.1/PNPS/1965 tentang penodaan agama dicabut menyatakan agama tidak boleh mencampuri urusan pribadi/privat. Pandangan ini tidak konsisten. Sebab, pada saat berbicara nikah siri dan poligami yang merupakan urusan privat justru mereka meminta tangan negara untuk turut campur melarang keduanya. Sebaliknya, Islam konsisten. Islam mengatur baik masalah pribadi maupun permasalahan publik.
Negara: Bagian dari Ajaran Islam
Dalam pandangan sekularisme, negara merupakan bagian dari tatanan sosial kemasyarakatan. Agama dipandang sebagai bagian dari kebudayaan. Konsekuensinya, tidak semua hal boleh diatur oleh negara. Negara pun tidak boleh menjadikan hukum agama untuk mengatur masyarakat. Padahal realitas menunjukkan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan dan diatur oleh satu hukum yang sama. Negara merupakan penerap aturan/hukum tersebut di tengah masyarakat. Jadi, pilar utama dari suatu negara adalah adanya akidah dalam masyarakat sebagai tempat berpijak negara. Akidah itulah yang melahirkan pemikiran, perasaan dan aturan/hukum (syariah). Berdasarkan hal ini, negara mesti menyatu dengan akidah tersebut.
Islam merupakan agama sempurna dan paripurna. Dia telah menyempurnakan Islam, mencukupkan nikmat-Nya dan meridhai Islam sebagai agama bagi kita (QS al-Maidah [5]: 3). Allah SWT telah menetapkan berbagai hukum-Nya mulai dari shalat, zakat, haji hingga kenegaraan. Lahirlah kaidah:Al-Islâmu dîn minhu ad-dawlah (Islam adalah agama, termasuk di dalamnya negara). Banyak ayat dan hadis yang menjelaskan hal ini. Semuanya bertebaran dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama shalih.
Berkaitan dengan masalah ini, Imam al-Ghazali berkata. “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 199).
Senada dengan itu, Ibnu Taymiyah menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/394).
Nyatalah bahwa Islam menyatu dengan negara. Itulah yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. sejak berhijrah ke Madinah.
Negara dalam pandangan syariah Islam haruslah menerapkan Islam, termasuk dalam menjamin keberadaan agama-agama lain. Sejak zaman Rasulullah saw. hingga akhir Kekhilafahan Islam, agama-agama lain diberi kebebasan hidup. Hal ini sebagai wujud pelaksanaan ayat: tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqarah [2]: 256). Agama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dll diberi kebebasan hidup oleh negara. Mereka menjadi warga negara sebagai kafir dzimmi yang tidak boleh disakiti. Namun, pada saat yang sama, negara pun menjaga kesucian agama dari penodaan dan penistaan. Karenanya, negara bersikap tegas terhadap para penoda dan perusak agama. Hal ini tergambar jelas ketika para Sahabat memerangi Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku sebagai nabi.
Ringkasnya, pada negara yang menerapkan sekularisme, kebebasan beragama bersifat semu. Buktinya, membuat menara masjid di Swiss dilarang; berjilbab di Belanda dan Prancis dilarang.Bahkan di Indonesia pun pelarangan berjilbab masih terjadi. Selain itu, kesucian agama pun tidak terpelihara. Penodaan dan penistaan terhadap Islam terus berlangsung. Berbeda dengan itu, ketika Islam diterapkan oleh negara maka kesucian agama terjaga dan kebebasan untuk beragama pun terpelihara. []
Sumber : Al-Wa'ie HTI
Posting Komentar