Gugatan Cerai Isteri Terhadap Suami Yang Terduga Zina
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Kasus yang menimpa pejabat Kementrian Perhubungan, yang digugat cerai isterinya di Pengadilan Agama (PA) Jagakarsa, karena diketahui melakukan pesta seks dengan sejumlah wanita, namun ditolak oleh PA, telah menarik perhatian publik. Baik karena kasusnya itu sendiri, juga karena negara terbukti gagal menyelesaikan masalah seperti ini.
Kasus ini telah diajukan ke PA Jagakarsa. Pihak isteri pejabat tersebut mengajukan gugatan cerai, dengan bukti foto pesta seks, sebagai bukti pendukung atas gugatannya. Namun, sayang gugatan tersebut ditolak PA, karena dianggap foto tersebut bukan barang bukti yang bisa mendukung dakwaan.
Gugagatan Cerai Isteri di Pengadilan Agama
Islam telah menetapkan, bahwa hak menceraikan isteri memang ada di tangan suami. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةًۭ فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٢٣٧﴾
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 237)
“Orang yang memegang ikatan nikah” di dalam ayat ini adalah suami atau wali. Karena itu, hak menceraikan isteri ada di tangan suami, bukan di tangan isteri. Hanya saja, meski asalnya hak melepaskan ikatan nikah, atau menceraikan isteri itu ada di tangan suami, tetapi isteri juga bisa menceraikan dirinya sendiri, jika diberi hak oleh suaminya. Dalam kondisi seperti ini, maka isteri bisa langsung menggunakan haknya, melepaskan ikatan pernikahannya dari sang suami.
Selain itu, hak menceraikan isteri ada di tangan suami. Jika suami tidak mau menceraikan isterinya, namun sebaliknya sang isteri ingin bercerai dari suaminya, maka kasus ini diserahkan kepada pengadilan. Pengadilanlah yang bisa memaksa suaminya untuk melepaskan ikatan pernikahan pasangan suami-isteri tersebut. Dalam hal ini ada beberapa alasan:
1- Jika suaminya mempunyai cacat, seperti mandul, atau impoten, maka dalam kasus ini pengadilan bisa mengabulkan gugatan sang isteri, setelah suaminya diberi waktu satu tahun untuk memulihkan cacatnya. Jika dalam waktu tersebut tidak berhasil, maka gugatan sang isteri, akan dikabulkan. Namun, jika suaminya dikebiri, atau sejenisnya, maka pengadilan tidak perlu memberi waktu, tetapi gugatan tersebut bisa dikabulkan seketika. Karena, tidak ada gunanya memberi waktu untuk menunggu, bagi orang yang dikebiri.
2- Jika suaminya menderita penyakit menular, seperti lepra, kusta, HIV-AIDS, sipilis, dan sejenisnya, maka dalam kasus ini pengadilan bisa mengabulkan gugatan sang isteri.
3- Jika suaminya gila, maka dalam kasus ini pengadilan bisa mengabulkan gugatan sang isteri, setelah suaminya diberi waktu satu tahun untuk menyembuhkan penyakitnya. Jika dalam waktu tersebut tidak berhasil, maka gugatan sang isteri, akan dikabulkan.
4- Jika suaminya pergi meninggalkan rumah, baik jauh maupun dekat, lalu tidak jelas rimbanya, tidak mengirimkan nafkah untuk keluarganya, maka dalam kasus ini pengadilan bisa mengabulkan gugatan sang isteri, setelah dilakukan upaya sungguh-sungguh untuk menemukannya, tetapi gagal.
5- Jika suami tidak mau memberikan nafkah kepada isterinya, padahal dia bisa, dan isterinya pun tidak bisa mendapatkan akses terhadap harta suaminya, maka dalam kasus ini pengadilan bisa mengabulkan gugatan sang isteri seketika itu juga.
6- Jika antara suami-isteri tersebut terjadi perselisihan, maka gugatan isteri tersebut bisa dikabulkan oleh pengadilan, setelah masing-masing pihak mengajukan hakam dan berusaha mendamaikannya, tetapi tetap gagal.[1]
Dalam kasus pasangan suami-isteri di Kementerian Perhubungan tersebut bisa diselesaikan melalui salah satu dari ketujuh klausul di atas. Karena suaminya tidak ingin melepaskan ikatan pernikahannya, sementara isterinya ngotot mengajukan gugatan, karena merasa dikhianati, dan kekhawatiran sang isteri akan kesehatannya yang berpotensi tertular penyakit menular, maka PA bisa mengambil langkah pada point keenam di atas.
Jika gagal, dan kemungkinan besar gagal, maka PA bisa langsung mengabulkan kasus gugatan tersebut. Tanpa lagi melihat bukti-bukti foto pesta seks dan sebagainya.
Gugatan Zina, Foto dan Li’an
Foto-foto pejabat Kementerian Perhubungan yang sedang pesta seks, memang tidak bisa digunakan sebagai barang bukti perzinaan. Karena kasus perzinaan itu harus disaksikan oleh 4 saksi, dan keempat-empatnya harus melihat dengan mata kepalanya sendiri. Jika keempat saksi tersebut tidak ada, maka tuduhan zina tersebut bisa berbalik menjadi qadzaf bagi sang isteri.[2]
Ini berbeda, jika sang suami yang menuduh isterinya berzina. Jika tuduhan tersebut tidak bisa dibuktikan, karena tidak adanya 4 saksi, maka sang suami bisa diminta untuk melakukan li’an di pengadilan. Dengan menyatakan:
أَشْهَدُ بِاللهِ أَنِّي مِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ فلانة
“Saya bersaksi dengan Asma Allah, bahwa saya adalah orang yang benar (tidak berbohong), terhadap apa yang saya tuduhkan kepada isteri saya (Fulanah).”
Dinyatakan sebanyak 4 kali. Kemudian diulang lagi untuk kelima kalinya, dengan ditambah:
وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الكاَذِبِيْنَ
“Semoga saya dilaknat oleh Allah, jika saya berbohong.”
Setelah itu, isterinya juga wajib dimintai kesaksian yang sama di pengadilan dengan menyatakan:
أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّ زَوْجِيْ مِنَ الكاَذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِي بِهِ مِنَ الزِّنَا
“Saya bersaksi dengan Asma Allah, bahwa suami saya adalah orang yang bohong (tidak jujur), terhadap pernizahan yang dia tuduhkan kepada saya.”
Dinyatakan sebanyak 4 kali. Kemudian diulang lagi untuk kelima kalinya, dengan ditambah:
وَعَلَيَّ غَضَبُ اللهِ إِنْ كاَنَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ
“Semoga saya dimurkai oleh Allah, jika dia benar (jujur).” Dinyatakan sebanyak 4 kali. Kemudian diulang lagi untuk kelima kalinya, dengan ditambah:
وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الكاَذِبِيْنَ
“Semoga saya dilaknat oleh Allah, jika saya berbohong.” [3]
Dalam kasus gugatan isteri sang pejabat dengan foto pesta seks tersebut memang bukan dimaksud untuk menuduh zina, tetapi foto-foto tersebut diajukan ke PA hanya untuk menguatkan gugatan. Memang benar-benar foto-foto tersebut tidak bisa dijadikan barang bukti untuk membuktikan perzinahan sang pejabat. Tetapi, tidak berarti gugatan tersebut tidak bisa diterima, atau tidak bisa dikabulkan oleh pengadilan. Terutama, setelah upaya rekonsiliasi di antara keduanya menemui jalan buntu.
Kegagalan Negara
Meski foto tidak bisa dijadikan barang bukti, tetapi bukan berarti kasus pernizahan pejabat tersebut tidak bisa dibuktikan. Karena kasus perzinahan ini bisa dibuktikan, selain dengan kesaksian, bisa juga melalui pengakuan (iqrâr). Dalam hal ini, jika pelaku mau mengakui perbuatannya di pengadilan, maka kasus perzinahan ini terbukti. Jika pelaku tidak mau mengakui perbuatannya, maka pengadilan juga bisa memintanya untuk bersumpah dengan atas nama Allah, bahwa dia tidak melakukan perzinahan.
Ini sebagaimana kaidah:
اَلْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَاْليَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
“Bukti itu wajib diberikan oleh orang yang menuduh, sedangkan sumpah wajib dilakukan oleh orang yang mengingkari (tuduhan) tersebut.”
Bagi isteri yang menuduh suaminya, atau orang lain yang menuduh seseorang berzina, memang wajib mendatangkan bukti. Dalam hal ini adalah kesaksian 4 saksi. Dalam kasus di atas jelas, bahwa kesaksian 4 saksi tidak ada. Yang ada hanyalah foto. Maka, pengadilan bisa mengambil sumpah pelaku yang terdapat di dalam foto tersebut, yang menyatakan pengingkarannya atas perzinahan yang dialamatkan kepadanya.
Selain itu, kasus ini sebenarnya mudah saja diselesaikan, karena foto-foto tersebut merupakan dokumentasi seluruh pelaku yang terlibat. Jika mau, maka mereka yang terdapat di dalam foto tersebut bisa dimintai kesaksian untuk membuktikan terjadi dan tidaknya praktik perzinahan tersebut. Masalahnya, masalah ini diatur dalam KUHP, dan pasal yang mengatur perzinahan ini tidak menganggap kriminal pelaku yang melakukan zina dengan suka sama suka.
Jadi, kalau semuanya mengakui, dan kemudian menyatakan suka sama suka, negara pun tidak bisa menjerat mereka dengan pasal zina. Kalau pun bisa, hukumannya pun bukan dirajam, atau dicambuk 100 kali. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa berharap kepada sistem hukum seperti ini? Mimpi. Wallahu a’lam.[]
[1] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, Cet. IV, 2003, edisi Muktamadah, hal. 156-159.
[2] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nasyrah Ajwibah-As’ilah, tanggal 13 Muharram 1395 H.
[3] Al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, Cet. I, 2000, Juz II, hal. 1681-1682.
==============================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
==============================
Jika Saudara/i ingin mengkaji Islam dan berdakwah bersama HIZBUT TAHRIR INDONESIA silahkan mengisi form yang kami sediakan di http://hizbut-tahrir.or.id/gabung/
Posting Komentar