Mensyukuri Musibah

Mensyukuri Musibah
Ilustrasi Cacat Namun Bersyukur
Oleh : Arief B. Iskandar

Di dalam kitab Ats-Tsiqat, Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah kisah menakjubkan, yaitu tentang kesabaran Abu Qilabah di dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpa dirinya. Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdil Malik.

Ibnu Hibban menuturkan kisahnya dari Abdullah bin Muhammad yang berkata:

Suatu hari, aku pergi ke tepi pantai dalam rangka menjaga wilayah perbatasan. Waktu itu kami berjaga-jaga di perkemahan di Mesir. Setibanya di ujung pantai, ternyata aku tiba di Bathihah. Di Bathihah ada sebuah kemah yang dihuni oleh seorang lelaki yang sudah buntung kedua tangan dan kedua kakinya. Pendengaran dan penglihatannya juga lemah. Tidak ada satu anggota tubuh pun yang berfungsi, selain lisannya.

Dengan lisannya itu ia senantiasa berdoa, “Ya Allah, berilah aku kemampuan untuk senantiasa memuji Engkau, dengan pujian yang membuat aku mampu memenuhi rasa syukur atas nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada diriku, dan Engkau melebihkan aku atas segenap makhluk-Mu.”
Aku lantas mendatangi lelaki itu di kemahnya. Aku mengucapkan salam kepada dia seraya berkata, “Aku mendengar engkau berdoa demikian (sebagaiamana doa di atas, pen.). Memangnya nikmat apakah yang telah Allah anugerahkan kepada engkau sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut? Kelebihan apa pula yang telah Allah karuniakan kepada engkau hingga engkau mensyukurinya?”

Lelaki itu menjawab, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah Allah perbuat terhadap diriku? Demi Allah, sekiranya Allah mengirim halilintar dari langit lalu membakarku, memerintahkan gunung lalu menghancurkanku, memerintahkan lelautan untuk menenggelamkanku, serta memerin-tahkan bumi untuk menelanku, maka itu hanya akan menambah rasa syukurku kepada Allah atas nikmat lisan yang masih berfungsi ini. Namun, wahai hamba Allah, kebetulan engkau datang, sementara aku butuh bantuanmu. Engkau melihat sendiri bagaimana kondisi tubuhku. Aku tidak mampu untuk menolong diriku sendiri, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sebelumnya, aku ditemani oleh anakku yang selalu datang pada waktu-waktu shalat, lalu ia mewudhukanku. Jika lapar, ia menyuapiku. Jika haus, ia memberiku minum. Namun, sudah tiga hari ini, aku kehilangan dia. Kalau engkau berkenan, carilah dia. Semoga Allah merahmati engkau.”

“Demi Allah, tidak ada perjalanan yang berpahala agung di sisi Allah selain perjalanan demi membantu sesama seperti engkau,” kataku.

Aku pun pergi mencari putranya yang telah beberapa hari hilang. Belum jauh berjalan, tiba-tiba aku berada di antara timbunan pasir. Ternyata aku menemukan seorang anak yang sudah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Aku pun mengucapkan, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.’ Aku bergumam dalam hati, “Apa yang harus aku katakan kepada lelaki tua-renta itu?”

Ketika hendak menghadap lelaki tua itu…aku berkata, “Wahai kawan, anakmu, yang aku cari, telah aku temukan di antara timbunan pasir. Ia diterkam dan dimakan binatang buas. Semoga Allah memberi engkau pahala yang besar dan melimpahkan kesabaran.”

Lelaki yang ditimpa musibah itu mengucapkan, “Alhamdulillah, Segala pujian milik Zat Yang tidak menciptakan dari garis keturunanku seorang hamba pun yang bermaksiat kepada-Nya sehingga ia disiksa dalam api neraka.”

Kemudian dia mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un.” Ia pun menangis, tak lama kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Seketika itu aku pun mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un.”

Tiba-tiba saja ada empat orang lelaki masuk ke kemah tanpa permisi. Mereka bertanya, “Wahai hamba Allah, apa yang terjadi denganmu? Bagaimana kabarmu?”

Kemudian aku menceritakan kepada mereka tentang diriku dan lelaki ini. Mereka bertanya, “Bolehkah kami melihat wajahnya? Siapa tahu kami kenal?”

Aku membuka wajahnya. Keempat orang itu memperhatikan dengan seksama, kemudian menciumi mata dan tangannya. Lalu berkata, “Benar, selama ini matanya tidak pernah digunakan untuk melihat hal-hal yang haram. Telah sekian lama anggota tubuhnya hanya digunakan untuk bersujud tatkala orang-orang tertidur pulas.”

Aku pun bertanya, “Sebenarnya, siapakah orang ini?”

Mereka menjawab, “Abu Qilabah Al-Jarmi, teman dekat Ibnu Abbas. Orang ini sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Kemudian kami memandikan jenazahnya; lalu mengkafani, menyalatkan dan menguburkannya. Setelah selesai, orang-orang itu pulang. Begitu juga aku, pulang ke markas.

Menjelang malam, aku merebahkan tubuhku untuk tidur. Tiba-tiba aku bermimpi seakan-akan dia berada di salah satu taman surga dikelilingi oleh dua bidadari. Mereka menyenandungkan, “Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS ar-Ra’d: 24).

Aku bertanya, “Bukankah kamu ini temanku?”

Dia menjawab, “Ya.”

Aku bertanya lagi, “Darimana kamu mendapatkan kedudukan dan semua ini?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi, yang tidak dapat dicapai kecuali melalui kesabaran ketika ditimpa musibah dan bersyukur ketika dalam kenikmatan, disertai dengan rasa takut kepada Allah, baik dalam keadaan sepi maupun ramai.” (Ibn Hibban, Ats-Tsiqqât, V/2-5).

Terkait kisah di atas, sungguh benar kata-kata Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, “Bukanlah orang berilmu yang tidak menganggap musibah sebagai nikmat [agama] dan kelapangan [dunia] sebagai musibah.” (At-Tahdzib al-Mawdhu’i li Hilyah al-Auliya’, hlm. 165). [] *htipress/gerilyadakwah
Posting Komentar

Posting Komentar