Hijab Diciptakan Untuk Memuliakan Wanita Muslim
Pertanyaan tentang mana yang lebih dulu menghijabi hati atau diri, seringkali terdengar. Pertanyaan itu seringkali membingungkan bagi yang masih awam, sekaligus menjadi tameng andalan bagi orang yang tidak ingin menghijabi dirinya, dengan alasan ingin menghijabi hatinya lebih dahulu.
Ditambah lagi dengan memberikan pepatah don’t judge the book by its cover, mereka yang tidak mau berhijab beralasan dengan berkata, “percuma dihijab kepala dan badan kalau perbuatan masih maksiat, makanya saya hijab hati dulu deh.” Pepatah yang benar, tapi dijadikan penyesat muslimah untuk tidak berhijab.
Design by: Reku Hizaki |
Maka ustadz yang kini banyak menjadi rujukan khususnya remaja yang menjadi follower twitter atau fanspage facebooknya menganggap bahwa semua itu adalah alasan. Felix Siauw mengatakan bahwa Allah berfirman dalam Al-Qur’an menyuruh muslimah menghijabi diri bukan hati. Apalagi logika mana yang masuk dengan menghijabi hati, apakah hati harus dikeluarkan dulu baru dihijabi? Pertanyaan dan pernyataan di atas, menjadi kalah dengan pernyataan Felix tersebut.
Felix menyatakan bahwa menghijabi diri adalah salah satu dari memperbaiki hati. Maka, seharusnya tidak ada alasan lagi untuk menunda berhijab (halaman 136). Namun walau begitu, masih ada saja yang akan berpikiran bahwa jika nanti dia telah memakai kerudung panjang menjuntai hingga batas dada dan ditambah dengan baju kurung yang menutupi mata kaki, akan dianggap sebagai ekstrimis, fundamentalis, bahkan teroris. Pertanyaannya apakah sekejam itu Islam dan Allah dengan mengharuskan memaksa wanita untuk berhijab?
Mari kita melihat sejarah memandang wanita dari masa ke masa. Dalam peradaban Yunani kuno, wanita boleh diperjualbelikan layaknya budak, tidak memiliki hak sipil dan hak waris. Bahkan bisa dianggap wanita hanya sebagai pemuas nafsu lelaki saja.
Bisa dilihat dari Dewa-Dewa mereka yang gemar selingkuh seperti Zeus bahkan dengan manusia, sehingga lahirlah demigod-demigod. Tidak beda dalam peradaban Romawi kuno, hanya beda nama Dewa saja. Nah, dari kisah-kisah Dewa mereka tersebut lahirlah pandangan sebelah mata terhadap wanita (halaman 15).
Di India Kuno lebih sadis lagi, seorang wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya akan melakukan proses membakar diri yang dinamakan Sati. Hal ini berarti ketika suaminya mati, maka hak hidup istri pun tidak ada, dan itu dianggap sebagai loyalitas.
Di peradaban kuno Cina juga begitu, wanita menjadi manusia kelas dua. Yang diperbolehkan belajar dan menjadi cendikiawan hanya seorang lelaki. Bagi orang Arab jahiliyah kuno pun mereka tega mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena takut kemiskinan. Dari peradaban kuno yang dikenal dunia, mungkin hanya Mesir yang pernah memberi kesempatan bagi wanita sabagai tampuk kekuasaan, contohnya Cleopatra.
Bagaimana dengan agama-agama di dunia? Yahudi konservatif menganggap wanita tidak lebih dari pembantu yang tak berhak akan hak waris. Bahkan jika hanya memiliki anak perempuan, Ayah boleh menjual anak perempuannya tersebut. Dalam teologi Nasrani, wanita pun dianggap bertanggung jawab atas diusirnya Adam dari surge. Karena wanita termakan rayuan setan.
Maka, datangnya Islam sesungguhnya menjadi angin segar bagi wanita. Dalam surat Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, tidak ada yang membedakan kecuali taqwa. Nah, dalam meraih taqwa laki-laki dan perempuan harus memiliki ilmunya, yang nanti akan diamalkan dan diajarkan kepada yang lain. Maka wajiblah mereka semua untuk belajar. “Menuntut ilmu itu adalah wajib atas seluruh kaum muslimin dan muslimat.” (HR Muslim)
Al-Qur’an menegaskan secara gambling dalam surat An-Nisa ayat 32 bahwa bagi bagi lelaki ada jalur pahala sendiri dan wanita ada jalur pahala sendiri. Tidak perlu saling iri, karena mereka tidak saling kompetisi di jalur yang sama (halaman 40).
Bahkan dalam urusan tertentu wanita dilebihkan daripada lelaki. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Hakim, bahwa siapa saja jika diamanahi anak perempuan, jika saja mati maka akan ditangisi, dan bila dididik dengan baik, maka orang tuanya akan mendapat jaminan masuk surga. Yang lebih dari itu dalam hadits Muttafaq ‘alaih bahkan ibu disebutkan tiga kali oleh Rasulullah sebagai orang yang harus dihormati dan berbuat baik padanya, setelah itu barulah ayah. Begitu mulianya wanita dalam Islam.
Maka hijab yang diwajibkan bagi muslimah sebenarnya bukan untuk mengekang wanita, justru itu untuk memuliakan wanita. Hijab berfungsi sebagai penutup bagian yang haram dilihat (aurat). Bagi muslimah auratnya adalah semua bagian tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (halaman 55). Dengan Hijab tersebut akan menjadi identitas muslimah dan akan menjaga dirinya dari keburukan, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar.
Posting Komentar