Israiliyat; Geneologi, Perkembangan dan Implikasinya
Israiliyat; Geneologi, Perkembangan dan Implikasinya Terhadap Periwatan Hadis Nabawi
====================================================
Pendahuluan.====================================================
Studi tentang Israiliyat pada dasarnya sudah dikupas secara komprehensif oleh para ulama klasik maupun kontemporer. Nama-nama besar seperti Ibn Taimiyah, Ibn Katsir, Ibn Khaldun, Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Muhammad Husein al-Dzahabi,[1] dan lain-lain telah merumuskan kajian tersebut secara apik dalam karya-karyanya. Sebagian mereka ada yang membahasnya secara panjang lebar dalam satu kitab khusus dan sebagian yang lain hanya menjadikannya sebagai salah satu sub bahasan dari sekian banyak bahasan yang mereka tulis dalam kitab mereka.
Namun, -sependek pengamatan penulis- sumber-sumber primer yang berbicara mengenai Israiliyat ini pada umumnya terdapat dalam kitab-kitab yang bertemakan Ulumul Qur’an. Sementara itu, kitab-kitab Ulumul Hadis sendiri yang seharusnya menjadikan persoalan Israiliyat sebagai salah satu pokok bahasannya -khususnya dalam kajian kritik matan- sangat jarang dan hampir dikatakan tidak ada sama sekali. Penulis belum meneliti kenapa hal itu bisa terjadi, namun yang jelas kajian Israiliyat merupakan persoalan yang sangat urgen dalam proses pengaplikasian sebuah matan hadis.[2]
Kalau boleh berasumsi, penulis cendrung memandang bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tidak masyhurnya kajian Israiliyat dalam kitab-kitab Ulumul Hadis adalah lantaran keserupaannya dengan studi kritik matan dengan pendekatan sejarah ataupun nalar rasional. Karena kalau diperhatikan secara lebih dalam, maka akan ditemukan sebagian kisah-kisah Israiliyat yang tidak sesuai dengan akal sehat, sejarah kemanusian, dan malahan ada yang kontradiksi dengan substansi ajaran Islam sendiri. Makalah sederhana ini akan mencoba menguraikan sedikit dari problematika seputar Israiliyat tersebut serta implikasinya terhadap status sebuah riwayat.
Pengertian Israiliyat.
Term Israiliyyat merupakan bentuk plural dari kata mufrad Israiliyyah yang mengandung pengertian sesuatu yang dinisbahkan kepada kaum Bani Israil. Kata Israil sendiri mengandung pengertian hamba Allah yang sering disandangkan sebagai gelar Nabi Ya’qub AS. Sehingga kata-kata Bani Israil akan bermakna anak/keturunan dari Nabi Ya’qub[3] yang berkembang sampai ke zaman Nabi Musa AS, Nabi ‘Isa AS, dan bahkan hingga ke masa Nabi Muhammad SAW. Golongan pertama dari mereka lebih dikenal dengan sebutan Yahudi, sementara itu mereka yang beriman kepada Nabi ‘Isa disebut dengan Nasrani, serta mereka yang percaya dengan Nabi Muhammad SAW disebut dengan Ahli Kitab.[4]
Ramzi Na’na’ah -seorang guru besar Tafsir Hadis di Fakultas Ushuluddin al-Azhar, Mesir- menyebutkan bahwa kata Israil merupakan bahasa ‘Ibrani yang tersusun dari dua kata, yaitu kata isra yang berarti seorang hamba atau seorang pilihan dan kata “ill” yang berarti Allah. Maka kata Israil berarti Abdullah (seorang hamba Allah).[5] Terkait dengan gelar Israil yang dinisbatkan kepada Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim AS, Ahmad Dimyanti menjelaskan sebagaimana yang dikutipnya dari Kitab Perjanjian Lama ”setelah beliau kembali dari suatu tempat yang bernama Fadan Aram, maka Allah menampakkan diri-Nya kepada Ya’qub dan memberkatinya. Lalu Allah berkata kepadanya “Namamu Ya’qub, namun sekarang berubah menjadi Israil, itulah yang akan menjadi namamu”. Maka Allah pun menamainya dengan Israil”.[6]
Dalam Al-Qur’an Allah SWT pernah menyebut Nabi Ya’qub dengan sebutan Israil, sebagaimana dalam firman-Nya “semua makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan Israil (Ya’qub AS) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.[7] Sementara itu di ayat lain Allah SWT juga pernah menyebut kaum Yahudi dengan sebutan Bani Israil, sebagaimana dalam firman-Nya “sesungguhnya al-Qur’an ini menjelaskan sebagian besar dari perkara-perkara yang mereka (Bani Israil) perselisihkan.[8] Ayat yang terakhir ini dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa sesungguhnya mereka adalah keturunan seorang nabi dan rasul pilihan Allah SWT, sehingga wajar dan seharusnya mereka meneladani akhlak Nabi Ya’qub AS serta menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela seperti berkhianat dan kufur nikmat.
Muhammad Husein al-Dzahabi ketika menjelaskan pengertian Israiliyat dalam Kitab-nya al-Tafsir wa al-Mufassirun menegaskan “istilah Israiliyat walaupun pada awalnya hanya dinisbatkan kepada riwayat-riwayat yang berasal dari kaum Yahudi, namun dalam perkembangan selanjutnya, Israiliyat juga mengandung makna cerita dan kisah-kisah yang direduksi dari kisah kaum Nasrani dan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang dari keduanya (Yahudi dan Nasrani).[9] Namun walau demikian, tetap saja cerita/kisah yang berkenaan dengan kaum Yahudi lebih mendominasi kisah-kisah Israiliyat ketimbang Kaum Nasrani.
Dari beberapa keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Israiliyat adalah semua kisah dan berita yang bersumber dari referensi Agama Yahudi berupa Kitab Taurat (Perjanjian Lama), begitu juga dengan semua kisah dan berita yang berasal dari literatur Agama Nasrani berupa Kitab Injil (Perjanjian baru), serta kisah-kisah dan sejarah kehidupan para nabi dan rasul zaman dahulu yang dibawa oleh para keturunan Bani Israil yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW, walaupun dalam kenyataannya didominasi oleh kisah-kisah dari Agama Yahudi.
Proses Kemunculan Riwayat-Riwayat Israiliyat dan Penyebabnya.
Sebuah sentimen negatif pernah dilontarkan oleh pengarang kitab Manahil al-‘Irfan, Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zurqani ketika menyinggung masalah Israiliyat. Dia mengklaim bahwa salah satu penyebab dikritiknya sebagian riwayat perawi dari kalangan tabi’in ketika menafsirkan nash-nash agama adalah karena riwayat-riwayat mereka seringkali bercampur-baur dengan kisah-kisah Israiliyat dan khurafat yang mereka ambil dari orang-orang Zindiq Persia ataupun dari para perempuan Ahli Kitab yang mempunyai niat baik dalam periwayatannya dan juga mereka yang hanya ingin merusak citra Islam dengan cara yang tidak terpuji.[10] Berangkat dari asumsi ini, maka timbullah hipotesis sementara orang bahwa maraknya periwayatan kisah-kisah Israiliyat berawal pada masa tabi’in, namun hipotesa ini masih butuh pembuktian lebih lanjut.
Pada tahun 70 masehi, masyarakat Yahudi datang dengan jumlah yang cukup besar ke Tanah Arab karena melarikan diri dari Syam setelah mendapat ancaman dan siksaan penguasa diktator ketika itu yang bernama Titus al-Rumani.[11] Kemudian sebagian mereka ada yang menetap di kawasan Yastrib –sekarang Madinah- dan sekitarnya seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Sedangkan sebagian yang lain ada yang bertempat tinggal jauh dari Madinah seperti Khaibar, Taima’, Himyar, Fadak, dan Wadi Al-Qura’.[12]
Husein al-Dzahabi menjelaskan “mereka berpindah ke Jazirah Arab bersama kebudayaan yang mereka adobsi dari kitab-kitab agama mereka. Uraian-uraian kitab itu mereka terima sebagai warisan dari nabi atau ulama mereka yang kemudian diwariskan lagi kepada generasi berikutnya. Mereka mempunyai tempat khusus yang dikenal dengan sebutan ”Bait al-Midras”, yaitu sebuah tempat yang dijadikan pusat pengkajian kebudayaan Yahudi. Selain itu mereka juga mempunyai beberapa tempat yang digunakan sebagai sarana peribadatan dan pengembangan agama mereka.
Sementara itu Bangsa Arab pada zaman jahiliyah sering berpindah-pindah, baik ke arah Timur maupun Barat. Bangsa Quraisy mempunyai dua tujuan dalam bepergian, bila musim panas mereka pergi ke Syam dan apabila musim dingin mereka pergi ke Yaman. Pada waktu itu di Syam dan Yaman ditinggali oleh Ahli Kitab yang sebagian besarnya adalah Bangsa Yahudi. Sehingga, tidak heran apabila antara orang Arab dan Yahudi tersebut sering bertemu dan berinteraksi antar satu sama lain. Pertemuan itu pada akhirnya menjadi indikasi nyata terjadinya asimilasi dan akulturasi kebudayaan Yahudi dengan Bangsa Arab yang pada saat itu masih primitif.[13]
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh kaum Nasrani yang sering ditindas oleh berbagai golongan seperti penyembah berhala dan Kaum Yahudi Kerajaan Bizantium. Mereka lari ke tanah Arab hanya ingin menjauhkan diri dari penindasan yang disebabkan oleh perbedaan agama ini. Untungnya, dakwah mereka di tempat yang baru ini membuahkan hasil. Beberapa orang telah memeluk ajarannya seperti Waraqah bin Naufal, Imruul Qais, Kabilah Ghassan dan lain-lain. Kemunculan dua pihak ini (Yahudi dan Nasrani) memberikan sumbangan yang besar terhadap kehidupan masyarakat Arab. Selain itu, aktifitas perniagaan juga sedikit-banyak telah membuka peluang kepada masyarakat untuk mengenali kedua agama tersebut.
Setelah kedatangan Islam, terjadilah dialog dan interaksi yang cukup intens antara kaum Muslimin dan Ahli Kitab seperti yang banyak disebutkan di dalam Al-Quran. Akibatnya, banyak di antara mereka yang memeluk Agama Islam setelah mereka meyakini bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu merupakan agama yang benar. Sebagian dari mereka ada yang menganut Agama Islam secara benar dengan menjalankan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang oleh syariatnya, sementara itu, sebagian yang lain ada yang masuk Islam hanya untuk tujuan merusak dan menghancurkan Islam dari dalam.[14]
Pada masa tabi’in, pendustaan dan pemalsuan semakin marak terjadi, karena ada sebagian kalangan dari mereka -mantan Yahudi dan Nasrani yang memeluk agama Islam- yang terlalu mudah dalam meriwayatkan sesuatu. Mereka kurang selektif dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi, sehingga kisah-kisah Israiliyat, khurafat, dan dongeng-dongeng yang tidak mempunyai landasan pun mereka riwayatkan serta nisbahkan sebagai hadis Nabi. Faktor lain yang membantu penyebaran ini ialah dakwaan mereka yang mengatakan bahwa para sahabat dan tabi’in sangat berkeinginan untuk mengetahui semua perkara dan kisah umat-umat terdahulu yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan hadis Nabi SAW.
Ibnu Khaldun –seorang pakar sejarah muslim abad pertengahan- menyebutkan dalam kitabnya Muqaddimah Ibnu Khaldun bahwa maraknya periwayatan Israiliyat pada masa tabi’in adalah lantaran dua hal. Pertama, keadaan masyarakat Arab pada waktu itu yang masih buta huruf –yaitu bangsa Arab yang tergolong Arab Badwi-. Kedua, sifat manusia yang ingin mengetahui semua perkara. Apabila mereka berkeinginan untuk mengetahui sesuatu seperti sebab-sebab terjadinya alam semesta dan lain-lain, maka mereka bertanya kepada Ahli Kitab yang ada sebelum mereka dan menerima apapun yang disampaikannya.[15]
Di antara para Ahli Kitab yang sering dikutip ceritanya oleh orang-orang Arab saat itu adalah Ka’ab bin Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdullah bin Salam dan masih banyak yang lain. Di samping alasan-alasan di atas, sebagian kisah-kisah Israiliyat tersebut tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum agama yang pada akhirnya menyebabkan ia terus ditulis dan diceritakan dari mulut ke mulut. Hal serupa juga sering dipraktekkan oleh para mufassir al-Qur’an, mereka mempermudah periwayatan Israiliyat dan memenuhi tafsirnya dengan kutipan-kutipan tersebut, tidak ada penelitian yang akurat untuk mengetahui nilai dari apa yang mereka kutip tersebut.[16]
Klasifikasi Kisah-kisah Israiliyat.
Kisah-kisah Israiliyat secara umum sebagaimana yang dijabarkan oleh kebanyakan ulama seperti Ibn Taimiyah, Ibn Katsir serta beberapa orang ulama kontemporer lainnya, dapat diklasifikasikan kepada empat pembagian,[17] yaitu :
a. Kisah-kisah Israiliyat yang dipandang benar (shahih) baik matan maupun sanadnya.[18] Yaitu kisah Israiliyat yang diyakini kebenarannya, karena kisah tersebut diriwayatkan dari Nabi SAW dengan riwayat yang shahih. Di antara contoh-contohnya adalah sebagai berikut :
Riwayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Nabi SAW yang terdapat dalam Kitab Taurat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
حدثنا محمد بن سنان حدثنا فليح حدثنا هلال عن عطاء بن يسار قال لقيت عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما قلت أخبرني عن صفة رسول الله صلى الله عليه و سلم في التوراة قال أجل والله إنه لموصوف في التوراة ببعض صفته في القرآن يا أيها النبي إنا أرسلناك شاهدا ومبشرا ونذيرا. وحزرا للأميين أنت عبدي ورسولي سميتك المتوكل ليس بفظ ولا غليظ ولا سخاب في الأسواق ولا يدفع بالسيئة السيئة ولكن يعفو ويغفر ولن يقبضه الله حتى يقيم به الملة العوجاء بأن يقولوا لا إله إلا الله ويفتح بها أعينا عميا وآذانا صما وقلوبا غلفا.[19]
‘Atha bin Yasar berkata “saya telah bertemu dengan Abdullah bin Umar bin ‘Ash r.a dan berkata kepadanya, “ceritakanlah kepadaku tentang sifat-sifat Rasulullah yang terdapat dalam kitab Taurat!”, lalu ia berkata “Ya, demi Allah sesungguhnya sifat Nabi yang tertera di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam al-Qur’an (yang artinya)”, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira sekaligus pemberi peringatan dan pemelihara orang-orang yang ummi, engkau adalah hambaKu dan utusanKu, Aku menyebutmu sebagai orang yang bertawakkal, engkau tidak kasar dan tidak pula keras, tidak suka berteriak-teriak di pasar dan tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan mengampuni. Allah tidak akan mencabut nyawamu sehingga agama Islam lurus dan tegak yaitu mereka mengucapkan tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah SWT. Dengannya juga Allah akan membuka mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup.”
Riwayat yang berkaitan dengan hukum rajam bagi orang yang berzina dalam Kitab Taurat yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
حدثنا إسماعيل بن عبد الله حدثني مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه قال إن اليهود جاؤوا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فذكروا له أن رجلا منهم وامرأة زنيا فقال لهم رسول الله صلى الله عليه و سلم ما تجدون في التوراة في شأن الرجم. فقالوا نفضحهم ويجلدون قال عبد الله بن سلام كذبتم إن فيها الرجم فأتوا بالتوراة فنشروها فوضع أحدهم يده على آية الرجم فقرأ ما قبلها وما بعدها فقال له عبد الله بن سلام ارفع يدك فرفع يده فإذا فيها آية الرجم قالوا صدق يا محمد فيها آية الرجم فأمر بهما رسول الله صلى الله عليه و سلم فرجما فرأيت الرجل يحني على المرأة يقيها الحجارة.[20]
Dari Abdullah bin Umar r.a, berkata “sesungguhnya orang Yahudi telah datang menghadap Rasulullah SAW, lalu memberitahukan kepadanya bahwa salah seorang dari laki dan perempuan dari golongan mereka telah berzina”. Rasulullah SAW bertanya kepada mereka “apa yang kalian temukan di dalam Taurat terkait orang yang berzina, adakah di sana hukuman rajam?”, mereka menjawab “kami hanya mempermalukan mereka dan mencambuknya”, lalu Abdullah bin Salam berkata “kalian berdusta, sebenarnya di dalam Taurat ada hukuman rajam”, lalu mereka mengambil kitab Taurat dan membukanya. Namun ada salah seorang yang meletakkan tangannya di atas ayat rajam, kemudian dia membaca ayat sebelum dan yang sesudahnya. Abdullah bin Salam berkata kepadanya “angkat tanganmu!” lalu ia mengangkatnya, ternyata benar di dalam Kitab Taurat itu ada ayat rajam. Mereka akhirnya berkata “Wahai Muhammad, dia benar, dalam Kitab Taurat ada ayat rajam”. Kemudian Rasulullah memerintahkan agar keduanya dirajam. Abdullah bin Umar berkata “aku melihat laki-laki itu mencondongkan badannya ke arah perempuan dengan tujuan untuk melindunginya dari lemparan batu.”
Riwayat tentang kisah Dajjal yang diceritakan oleh Tamim al-Dari, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "إنى والله ما جمعتكم لرغبة ولا لرهبة ولكن جمعتكم لأن تميما الدارى كان رجلا نصرانيا فجاء فبايع وأسلم وحدثنى حديثا وافق الذى كنت أحدثكم عن مسيح الدجال"[21]
Rasulullah SAW bersabda (setelah mengumpulkan orang banyak) “sesungguhnya saya demi Allah tidak mengumpulkan kalian untuk memberikan kabar gembira atau kabar yang menakutkan, akan tetapi aku mengumpulkan kalian terkait dengan dengan adanya seorang Nasrani yang bernama Tamim al-Dari telah datang untuk berjanji setia dan menyatakan masuk Islam, kemudian ia bercerita kepadaku dengan suatu cerita yang sesuai dengan apa yang telah aku ceritakan kepada kalian tentang Dajjal al-Masih.”
Ketiga kisah tersebut merupakan Israiliyat yang dipandang sebagai cerita yang dapat diterima dan sesuai dengan ajaran Islam, karena substansinya seiring dengan ruh ajaran Islam. Apalagi ketika riwayat tersebut terdapat dalam dua kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an, yaitu Shahih Bukhari dan Muslim. Namun sebagian ahli hadis yang lain tetap menganggap kisah-kisah di atas (walaupun subtansinya sesuai dengan ajaran Islam) sebagai kisah yang tidak bisa dibenarkan dan tidak juga ditolak. Mereka menempatkannya sebagaimana adanya, karena al-Qur’an dan hadis tidak butuh kepada penguat ataupun penjelas dari kisah-kisah seperti demikian.[22]
Mereka memposisikan kisah-kisah Israiliyat tersebut sama halnya dengan Hadis Mauquf yang pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam sebuah amalan, karena keberadaannya yang hanya merupakan perkataan dan perbuatan yang dinisbahkan kepada sahabat. Namun perlu digarisbawahi bahwa, jika hadis tersebut memang dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya, maka dia bisa memperkuat sebagian hadis-hadis dho’if, karena para sahabat tidak mungkin mengada-adakan sebuah amalan/perkataan kecuali mereka mendapatkannya dari sunnah Rasulullah SAW, apalagi kalau Hadis Mauquf tersebut berada pada hukum Marfu’. Adapun apabila hadis tersebut mempunyai hukum Marfu’, maka secara otomatis dia bisa dijadikan hujjah sebagaimana halnya Hadis Marfu’.[23]
b. Kisah-kisah Israiliyat yang dipandang tidak benar (ghair shahih/dhoif), baik dari segi sanad ataupun matan. Yaitu kisah israiliyat yang diyakini kebohongannya, karena mungkin ada yang isinya bertentangan dengan syariat ataupun tidak sesuai dengan akal sehat. Kisah Israiliyat yang seperti ini ada sebagiannya yang berkaitan dengan persoalan akidah, sebagian lagi dengan persoalan hukum-hukum, dan ada juga yang berkaitan dengan petuah-petuah serta nasehat-nasehat kebaikan. Di antara contohnya adalah sebagai berikut :
Kisah yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Tafsir-nya sebagai berikut:
حدثنا القاسم قال حدثنا الحسين قال حدثني حجاج عن ابن جريج عن وهب بن سليمان عن شعيب الجبائي قال في كتاب الله الملائكة حملة العرش، لكل ملك منهم وجه إنسان وثور وأسد. فإذا حركوا أجنحتهم فهو البرق.[24]
Ibnu Jarir berkata “telah menceritakan kepada kami al-Qasim”, ia berkata “telah menceritakan kepada kami al-Husain, ia berkata”, “telah bercerita kepadaku Hajjaj, dari Ibn Juraij, dari Wahb bin Sulaiman, dari Syu’aib al-Jubai, ia berkata “di dalam kitab Allah disebutkan adanya malaikat pembawa arasy, masing-masingnya ada yang berwajah seperti manusia, sapi jantan, dan singa. Maka ketika mereka menggerakkan sayap-sayapnya maka akan menghasilkan bunyi kilat.
Pada hadis tersebut terdapat seorang perawi yang bernama Syu’aib al-Jubai yang menurut Ibn Hajar dalam kitabnya Lisan al-Mizan dia adalah seorang perawi yang matruk, dia juga seorang yang gemar meriwayatkan cerita dari Ahli Kitab dan ditambah lagi dengan riwayat-riwayat yang disampaikannya sering bertentangan dengan akal sehat, salah satu di antaranya adalah riwayat di atas.[25]
Riwayat yang disebutkan oleh Ibn Katsir dalam Tafsir-nya :
قال عبد الرزاق في تفسيره عن الثوري عن موسى بن عقبة عن سالم عن ابن عمر عن كعب قال ذكرت الملائكة أعمال بني آدم وما يأتون من الذنوب، فقيل لهم اختاروا منكم اثنين فاختاروا هاروت وماروت. فقال لهما إني أرسل إلى بني آدم رسلا وليس بيني وبينكم رسول انزلا لا تشركا بي شيئًا ولا تزنيا ولا تشربا الخمر. قال كعب فوالله ما أمسيا من يومهما الذي أهبطا فيه حتى استكملا جميع ما نهيا عنه.[26]
Abd al-Rozzaq berkata dalam tafsirnya, dari al-Tsauri, dari Musa bin Uqbah, dari Salim, dari Ibn Umar, dari Ka’ab, ia berkata “Para malaikat menyebutkan amalan-amalan Bani Adam dan dosa-dosa yang pernah mereka lakukan”. Kemudian dikatakan kepada mereka “pilihlah dua orang di antara kalian, kemudian mereka memilih Harut dan Marut”. Kemudian Allah berkata kepada keduanya “Sesungguhnya Aku telah mengutus beberapa orang utusan kepada Bani Adam dan tiada di antaraKu dan kalian seorang utusanpun, (oleh sebab itu) turunlah kalian berdua, jangan persekutukan Aku dengan sesuatu apapun, jangan melakukan zina, dan janganlah meminum minuman keras.” Ka’ab berkata “demi Allah, tidak sampai sore di hari diutusnya kedua malaikat tersebut sehingga keduanya telah menyempurnakan (melakukan) apa-apa yang telah dilarang olehNya.
Matan hadis tersebut dikritik oleh Imam Fakhruddin al-Razi. Beliau mengungkapkan bahwa riwayat tersebut fasid dan tertolak -tidak shahih sama sekali-. Selain itu ada beberapa alasan kenapa matan hadis tersebut dho’if dari segi matan, di antaranya tidak ada satu pun ayat yang mendukung riwayat tersebut. Kemudian riwayat tersebut seolah-olah menafikan kema’shuman malaikat dari perbuatan dosa, padahal dalam al-Qur’an telah nyata disebutkan bahwa mereka merupakan makhluk Allah yang paling patuh kepadaNya dan tidak pernah memaksiatiNya.[27]
c. Maudhu’ (palsu), tidak mempunyai landasan sama sekali, baik dari al-Qur’an maupun dari hadis-hadis yang shahih. Contohnya seperti berikut :
Apa yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengenai kisah pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Bani Israil terhadap para Nabi-nabi :
حذيفة بن اليمان يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن بني إسرائيل لما اعتدوا وعلوا وقتلوا الأنبياء بعث الله عليهم ملك فارس بختنصر. وكان الله ملكه سبع مئة سنة، فسار إليهم حتى دخل بيت المقدس فحاصرها وفتحها. وقتل على دم زكريا سبعين ألفا ثم سبى أهلها وبني الأنبياء وسلب حلي بيت المقدس. واستخرج منها سبعين ألفا ومئة ألف عجلة من حلي حتى أورده بابل. قال حذيفة فقلت يا رسول الله لقد كان بيت المقدس عظيما عند الله؟ قال أجل بناه سليمان بن داود من ذهب ودر وياقوت وزبرجد.[28]
Ketika mengomentari hadis tersebut Ibn Katsir menyayangkan kenapa Hadis Maudhu’ seperti itu bisa diriwayatkan oleh seorang ulama besar seperti Imam al-Thabari. Beliau menegaskan bahwa hadis tersebut merupakan Hadis Maudhu’ yang tidak berdasar sama sekali. Selain itu al-Mizi juga menuturkan hal yang serupa bahwa hadis di atas adalah hadis yang maudhu’ lagi dusta.
Kisah perbuatan zina Nabi Luth AS dengan kedua putrinya karena takut akan punahnya keturunan mereka lantaran sifat kaumnya yang tidak suka dengan kaum perempuan. Kisah tersebut terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian, pasal 19, ayat 30-38.[29]
d. Kisah-kisah Israiliyat yang didiamkan (maskut ‘anhu). Maksudnya adalah kisah-kisah Israiliyat yang tidak boleh diterima dan tidak boleh pula ditolak, tidak boleh dipercayai kebenarannya dan tidak boleh pula didustakan, karena kisah tersebut mempunyai kemungkinan benar dan salah yang sama, akan tetapi boleh meriwayatkannya. Namun kendati demikian kisah-kisah tersebut pada umumnya tidak bermanfaat bagi umat Islam. Di antara contohnya adalah sebagai berikut :
Kisah tentang seseorang dari golongan Bani Israil yang tega membunuh pamannya sendiri lantaran lamarannya ditolak oleh pamannya tersebut. Kisah tersebut dijelaskan panjang lebar oleh Ibn Katsir dalam Tafsir-nya.[30]
Kisah Raja Namrud (raja yang berkuasa pada masa Nabi Ibrahim AS) yang diazab oleh Allah SWT dengan mendatangkan seekor nyamuk yang menggigit bibirnya, kemudian nyamuk itu pun masuk ke hidung, tenggorokan, dan selaput otaknya. Setiap kali dia berusaha untuk mengeluarkannya, nyamuk itu pun berpindah ke organnya yang lain sehingga akhirnya dia mati karena tidak tahan menanggung sakit akibat bekas gigitan nyamuk tersebut.[31]
Hukum Meriwayatkan Kisah Israiliyat.
Dalam bahasan ini, penulis akan menampilkan beberapa dalil yang secara tekstual seolah-olah melarang periwayatan riwayat-riwayat Israiliyat dan yang lain membolehkannya. Dan diakhir akan ditampilkan bagaimana cara mengkompromikan antara kedua dalil tersebut.
Dalil-dalil yang melarang.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an terkait dengan orang-orang Yahudi.
ومن الذين هادوا سماعون للكذب سماعون لقوم آَخرين لم يأتوك يحرِفون الكلم من بعد مواضعه يقولون إنْ أوتيتم هذا فخذوه وإن لم تؤتوه فاحذروا.[32]
Dan (juga) di antara orang-orang Yahudi tersebut sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan juga sangat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya, mereka mengatakan "Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepadamu, maka terimalah! dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah!".
Allah SWT juga mengatakan :
فبما نقضهم ميثاقهم لعناهم وجعلنا قلوبهم قاسية يحرفون الكلم عن مواضعه ونسوا حظا مما ذكروا به ولا تزال تطلع على خائنة منهم إلا قليلا منهم.[33]
(Tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat).
Allah SWT berfirman mengenai orang-orang Nasrani :
ومن الذين قالوا إنا نصارى أخذنا ميثاقهم فنسوا حظا مما ذكروا به فأغرينا بينهم العداوة والبغضاء إلى يوم القيامة وسوف ينبئهم الله بما كانوا يصنعون.[34]
Dan diantara orang-orang yang mengatakan "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.
Allah SWT berfirman berkenaan dengan kondisi kaum Yahudi dan Nasrani :
يا أهل الكتاب قد جاءكم رسولنا يبين لكم كثيرا مما كنتم تخفون من الكتاب ويعفو عن كثير قد جاءكم من اللَه نور وكتاب مبين.[35]
Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu rasul Kami yang menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.
Imam al-Bukhari pernah meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari Abi Hurairah sebagai berikut :
وقال أبو هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا.[36]
Abu Hurairah berkata “janganlah kamu membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya dan katakanlah “kami beriman dengan Allah dan dengan apa yang diturunkan kepada kami”.
Atsar dari Umar bin Khattab yang menyebutkan :
لتتركن الحديث أو لألحقنك بأرض القردة.[37]
Umar bin Khattab r.a telah melarang Ka’ab bin Ahbar berkisah tentang umat terdahulu dan mengancam akan memulangkannya ke negerinya, kemudian beliau berkata “akankah engkau tinggalkan berkisah tentang umat terdahulu atau akan aku pulangkan engkau ke tanah kera (Yaman)”
Atsar dari Umar tersebut dan juga ayat-ayat serta hadis-hadis yang telah disebutkan di atas mengindikasikan bahwa apa yang diceritakan oleh Ahli Kitab seperti Ka’ab bin Ahbar dan sahabat-sahabatnya yang berasal dari agama Yahudi itu tidak dapat dipercaya. Karena tidak dapat dipercaya maka otomatis juga tidak boleh meriwayatkannya.[38]
Dalil-dalil yang membolehkan.
Allah SWT berfirman tentang kebolehan mengembalikan persoalan kepada Kitab Taurat dan memutuskan hukum dengannya.
فإن كنت في شك مما أنزلنا إليك فاسأل الذين يقرءون الكتاب من قبلك.[39]
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang kami turunkan kepadamu, Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab sebelum kamu (Ahli Kitab).
Allah juga berfirman :
قل فأتوا بالتوراة فاتلوها إن كنتم صادقين.[40]
“Maka bawalah Taurat itu, lalu Bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar".
Allah juga berfirman :
ويقول الذين كفروا لست مرسلا قل كفى باللَّه شهيدا بيني وبينكم ومن عنده علم الكتاب.[41]
Berkatalah orang-orang kafir "Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul". Katakanlah "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu serta antara orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab"
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya yang bersumber dari Abdullah bin Umar :
عن عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه و سلم قال بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.[42]
Dari Abdullah bin Umar ia mengatakan bahwa Nabi SAW telah bersabda “Sampaikanlah olehmu apa yang kalian dapatkan dariku walaupun satu ayat dan ceritakanlah kisah-kisah yang berasal dari Bani Israil dan tidak ada dosa padanya. Barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku, maka bersiaplah dirinya untuk mendapatkan tempat di dalam neraka.
Terdapat atsar yang berasal dari Abdullah bin Salam terkait masalah bolehnya meriwayatkan perkara Israiliyat :
إني قرأت القرآن والتوراة، فقال اقرأ بهذا ليلة وبهذا ليلة.[43]
Sesungguhnya saya suka membaca al-Qur’an dan Taurat, lalu Nabi SAW bersabda “bacalah al-Qur’an pada malam ini dan baca pula Taurat pada malam berikutnya”.
Dari ayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan di atas terdapat indikasi yang menunjukkan bolehnya meriwayatkan riwayat-riwayat yang berbau israiliyat.
Hukum Meriwayatkan Kisah Israiliyat.
Dalam bahasan ini, penulis akan menampilkan beberapa dalil yang secara tekstual seolah-olah melarang periwayatan riwayat-riwayat Israiliyat dan yang lain membolehkannya. Dan diakhir akan ditampilkan bagaimana cara mengkompromikan antara kedua dalil tersebut.
Dalil-dalil yang melarang.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an terkait dengan orang-orang Yahudi.
ومن الذين هادوا سماعون للكذب سماعون لقوم آَخرين لم يأتوك يحرِفون الكلم من بعد مواضعه يقولون إنْ أوتيتم هذا فخذوه وإن لم تؤتوه فاحذروا.[32]
Dan (juga) di antara orang-orang Yahudi tersebut sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan juga sangat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya, mereka mengatakan "Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepadamu, maka terimalah! dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah!".
Allah SWT juga mengatakan :
فبما نقضهم ميثاقهم لعناهم وجعلنا قلوبهم قاسية يحرفون الكلم عن مواضعه ونسوا حظا مما ذكروا به ولا تزال تطلع على خائنة منهم إلا قليلا منهم.[33]
(Tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat).
Allah SWT berfirman mengenai orang-orang Nasrani :
ومن الذين قالوا إنا نصارى أخذنا ميثاقهم فنسوا حظا مما ذكروا به فأغرينا بينهم العداوة والبغضاء إلى يوم القيامة وسوف ينبئهم الله بما كانوا يصنعون.[34]
Dan diantara orang-orang yang mengatakan "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.
Allah SWT berfirman berkenaan dengan kondisi kaum Yahudi dan Nasrani :
يا أهل الكتاب قد جاءكم رسولنا يبين لكم كثيرا مما كنتم تخفون من الكتاب ويعفو عن كثير قد جاءكم من اللَه نور وكتاب مبين.[35]
Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu rasul Kami yang menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.
Imam al-Bukhari pernah meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari Abi Hurairah sebagai berikut :
وقال أبو هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا.[36]
Abu Hurairah berkata “janganlah kamu membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya dan katakanlah “kami beriman dengan Allah dan dengan apa yang diturunkan kepada kami”.
Atsar dari Umar bin Khattab yang menyebutkan :
لتتركن الحديث أو لألحقنك بأرض القردة.[37]
Umar bin Khattab r.a telah melarang Ka’ab bin Ahbar berkisah tentang umat terdahulu dan mengancam akan memulangkannya ke negerinya, kemudian beliau berkata “akankah engkau tinggalkan berkisah tentang umat terdahulu atau akan aku pulangkan engkau ke tanah kera (Yaman)”
Atsar dari Umar tersebut dan juga ayat-ayat serta hadis-hadis yang telah disebutkan di atas mengindikasikan bahwa apa yang diceritakan oleh Ahli Kitab seperti Ka’ab bin Ahbar dan sahabat-sahabatnya yang berasal dari agama Yahudi itu tidak dapat dipercaya. Karena tidak dapat dipercaya maka otomatis juga tidak boleh meriwayatkannya.[38]
Dalil-dalil yang membolehkan.
Allah SWT berfirman tentang kebolehan mengembalikan persoalan kepada Kitab Taurat dan memutuskan hukum dengannya.
فإن كنت في شك مما أنزلنا إليك فاسأل الذين يقرءون الكتاب من قبلك.[39]
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang kami turunkan kepadamu, Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab sebelum kamu (Ahli Kitab).
Allah juga berfirman :
قل فأتوا بالتوراة فاتلوها إن كنتم صادقين.[40]
“Maka bawalah Taurat itu, lalu Bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar".
Allah juga berfirman :
ويقول الذين كفروا لست مرسلا قل كفى باللَّه شهيدا بيني وبينكم ومن عنده علم الكتاب.[41]
Berkatalah orang-orang kafir "Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul". Katakanlah "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu serta antara orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab"
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya yang bersumber dari Abdullah bin Umar :
عن عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه و سلم قال بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.[42]
Dari Abdullah bin Umar ia mengatakan bahwa Nabi SAW telah bersabda “Sampaikanlah olehmu apa yang kalian dapatkan dariku walaupun satu ayat dan ceritakanlah kisah-kisah yang berasal dari Bani Israil dan tidak ada dosa padanya. Barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku, maka bersiaplah dirinya untuk mendapatkan tempat di dalam neraka.
Terdapat atsar yang berasal dari Abdullah bin Salam terkait masalah bolehnya meriwayatkan perkara Israiliyat :
إني قرأت القرآن والتوراة، فقال اقرأ بهذا ليلة وبهذا ليلة.[43]
Sesungguhnya saya suka membaca al-Qur’an dan Taurat, lalu Nabi SAW bersabda “bacalah al-Qur’an pada malam ini dan baca pula Taurat pada malam berikutnya”.
Dari ayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan di atas terdapat indikasi yang menunjukkan bolehnya meriwayatkan riwayat-riwayat yang berbau israiliyat.
Pengkompromian dua dalil.
Setelah memperhatikan beberapa dalil di atas, sebagiannya ada yang membolehkan dan sebagian lagi ada yang melarang, maka dapatlah disimpulkan bahwa :
Islam adalah agama yang menyuruh umatnya agar mempunyai pengetahuan yang luas. Hal ini menyebabkan Islam melegalkan mengambil pengetahuan dari siapapun selama informasi-informasi tersebut tidak bertentangan dengan ruh syariat Islam.
Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW juga telah banyak mengisahkan hal-hal yang berkaitan dengan kisah-kisah umat-umat terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa cerita-carita tersebut mempunyai manfaat dan tidak sia-sia dipelajari. Salah satu di antara manfaatnya adalah sebagai nasehat dan pelajaran bagi para pembaca dan pendengarnya.
Semua kisah dari Bani Israil yang sesuai dengan syariat boleh diriwayatkan. Dan sebaliknya, semua cerita Israiliyat yang bertentangan dengan ruh syariat dan akal sehat maka terlarang meriwayatkannya.
Sikap Para Ulama terhadap Israiliyat.
Secara umum, sikap ulama terhadap Israiliyat dapat diklasifikasikan kepada empat kelompok, di antaranya :
Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyat dengan disertai sanadnya, dia memandang bahwa dengan menyebutkan sanad, maka dia dapat keluar dari lingkup larangannya, seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain.
Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyat tanpa disertai sanad, maka dia seperti penyulut api di tengah malam seperti Imam Al-Baghawi. Ibn Taimiyyah ketika mengomentari Tafsir al-Baghawi menyebutkan “Tafsirnya adalah ringkasan dari tafsir Al-Tsa’labi, akan tetapi dia menjaganya dari hadis-hadis palsu dan pandangan-pandangan bid’ah”. Sedangkan mengenai Tsa’labi, Ibn Taimiyah mengatakan “Dia adalah penyulut api di tengah malam, dia menukil apa yang dia dapati dalam kitab-kitab tafsir dari riwayat-riwayat shahih, dhaif ataupun palsu”.
Ada yang banyak menyebutkanya, namun menyertainya dengan komentar dha’if atau mungkar dan lain-lain seperti yang dilakukan oleh Ibn Katsir.
Ada yang berlebih-lebihan dalam menolaknya sehingga tidak menyebutkan riwayat Israiliyat sedikitpun sebagai penafsiran bagi Al-Qur’an, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.[44]
Kesimpulan dan Penutup.
Israiliyat merupakan sebuah warisan tradisi masa lalu yang sudah terlanjur bercampur baur dengan teks-teks agama Islam. Sebagai sebuah riwayat, maka sebagiannya ada yang bersesuaian dengan ajaran Islam, maka ia dapat diterima.Sebagian lagi cerita bohong yang tidak mempunyai sumber sama sekali dan cerita seperti itu wajib ditolak. Serta sebagian yang lain tidak bisa diterima dan tidak bisa ditolak, melainkan hanya sebatas informasi yang boleh diriwayatkan semata-mata.
Sebenarnya masih banyak persoalan yang harus dibahas dalam kajian ini, terlebih korelasinya dengan studi kritik hadis yang notabenenya sangat urgen untuk membersihkan sumber-sumber agama ini dari hal-hal yang bukan bahagian darinya. Namun karena keterbatasan kemampuan, tenaga, dan kesempatan, maka penulis mencukupkan pembahasan ini sampai di sini. Kritik dan saran yang membangun dari khalayak pembaca sangat kami harapkan demi tersiarnya sebuah kajian ilmiah yang renyah dan berkualitas. Wallahu A’lam
Daftar Pustaka :
[1].Ibn Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi Ulum al-Tafsir, Ibn Katsir dalam kitab Tafsir-nya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah dalam karyanya al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir, dan Muhammad Husein al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun dan al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadist.
[2].Dalam tataran praktis sebuah hadis sebelum dia dijadikan sebagai dasar penyandaran sebuah hukum syariat, setidaknya harus melalui tiga tahap. Pertama, tahap pengujian otentisitasnya sebagai sebuah hadis (kritik sanad). Kedua, tahap pemaknaan (kritik matan). Dan ketiga, tahap pengaplikasiannya sebagai hadis yang ma’mul atau tidak (Ushul Fikih, Qawaid Fikih, dan Ilmu Maqashid Syariat).
[3].Nabi Ya’qub AS mempunyai 13 orang anak/keturunan dari 4 orang Istri, yaitu Pertama, Lia –anak perempuan bibinya- dan dikarunia 7 orang anak Yahuda, Rubel, Syam’un, Lawi, Ribalun, Yasyjar, dan Dainah. Kedua dan ketiga, Zulfah dan Balhah, dikaruniai 4 orang anak, yaitu Dani, Naftali, Jadi, dan Asyir. Ketiga, Rahil dan dikarunia 2 orang anak, yaitu Nabi Yusuf dan Bunyamin. Keterangan ini sebagaimana dikutip dari perkataan Imam Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf yang kemudian dikutip lagi oleh Imam al-Razi dalam Tafsir-nya. Lihat Fakhr al-din Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri al-Razi al-Syafi’i, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), vol. 17-18, h. 74.
[4].Lihat Muhammad bin Muhammab Abu Syuhbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1988), cet. IV, h. 11.
[5].Ramzi Na’na’ah, al-Israiliyat wa Atsaruha fi Kutub al-Tafsir, (Beirut: Dar al-Qalam wa Dar al-Dhiya’, 1970), cet. I, h. 72 yang kemudian dikutip juga oleh Ahmad Dimyathi Badruzzaman, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir Munir, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), cet. I, h. 35.
[6].Ahmad Dimyathi Badruzzaman, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir Munir, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), cet. I, h. 35-36.
[7].Q.S. Ali Imran, ayat 93.
[8].Q.S. Surah al-An’am, ayat 76.
[9].Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Hadist, 2005), vol. 1, h. 147.
[10].Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zurqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Hadist, 2001), vol. 1, h. 22.
[11].Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadist, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1990), cet. IV, h. 15.
[12].Ramzi Na’na’ah, al-Israiliyat wa Atsaruha fi Kutub al-Tafsir, h. 74-75.
[13].Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadist, h. 16-17.
[14].Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadist, h. 18.
[15].Abdurrahman bin Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Mesir; Dar Ibn al-Jaudzi, 2010), cet. I, h. 372.
[16].Abdurrahman bin Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, 372.
[17].Ahmad Dimyathi Badruzzaman, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir Munir, h. 44.
[18].Ramzi Na’na’ah, al-Israiliyat wa Atsaruha fi Kutub al-Tafsir, h. 76.
[19].Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 2004), cet. III, vol. 2, h. 747.
[20].Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih Bukhari, vol. 6, h. 2510.
[21].Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabur, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet. V, h. 149.
[22].Hasil diskusi pada saat presentasi makalah. Ust. Andi Rahman, Lc, MA lebih cendrung kepada pendapat ini, walaupun penulis tetap berpendapat bahwa selama substansi Israiliyat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam serta sanadnya bisa dipertanggungjawabkan keshahihannya seperti contoh-contoh yang telah penulis sebutkan, maka ia dapat dibenarkan dan memperkuat ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Pendapat ini penulis adobsi dari beberapa kitab yang menjadi sumber primer dari tulisan ini seperti al-Israiliyat wa Atsaruha fi Kutub al-Tafsir karya Ramzi Na’na’ah, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-hadist karya Muhammad Husain al-Dzahabi, dan juga al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir karya Muhammad bin Muhammab Abu Syuhbah. Wallahu A’lam.
[23].Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Indonesia: Al-Haramain, 1977), cet. VII, h. 133.
[24].Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amili Abu Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Mesir; Muassasah Risalah, 2000), cet. I, vol. 1, h. 343.
[25].Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-‘Atsqalani al-Syafi’i, Lisan al-Mizan, (Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbuat, 1986), cet. III, vol. 3, h. 150.
[26].Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyq, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Mesir: Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), cet. II, vol. 1, h. 354.
[27].Fakhr al-din Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri al-Razi al-Syafi’i, Mafatih al-Ghaib, vol. 3-4, h. 98.
[28].Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amili Abu Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, vol. 17, h. 357.
[29].lihat Ahmad Dimyathi Badruzzaman, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir Munir, h. 46-47.
[30].Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyq, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, vol. 1, h. 192.
[31].Abu Hasan Muqatil bin Sulaiman bin Basyir al-Azdi, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 2003), cet. I, vol. 1, h. 138.
[32].Q.S. Al-Maidah, ayat 41.
[33].Q.S. Al-Maidah, ayat 13.
[34].Q.S. Al-Maidah, ayat 14.
[35].Q.S. Al-Maidah, ayat 15.
[36].Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih Bukhari, vol. 2, h. 953.
[37].’Ala al-din Ali bin Hisam al-Din al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi al-Aqwal wa al-Af’al, (Mesir: Muassasah al-Risalah, 1981), cet. V, vol. 10, 291.
[38].lihat Ahmad Dimyathi Badruzzaman, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir Munir, h. 53.
[39].Q.S. Yunus, ayat 94.
[40].Q.S. Ali ‘Imran, ayat 93.
[41].Q.S. Al-Ra’d, ayat 43.
[42].Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih Bukhari, vol. 3, h. 1275.
[43].’Ala al-din Ali bin Hisam al-Din al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi al-Aqwal wa al-Af’al, vol. 13, h. 481.
[44].Lihat rincian mengenai pembahasan ini pada Ramzi Na’na’ah, al-Israiliyat wa Atsaruha fi Kutub al-Tafsir, h. 98-105. Bandingkan dengan Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-hadist, h. 45-52 dan juga Muhammad bin Muhammab Abu Syuhbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir, h. 106-110.
Posting Komentar