Sirah Shahabiyah: Asma binti Abu Bakar
October 31, 2010 by shineena | Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq (Puteri-puteri Teladan dalam Islam)
Dia seorang wanita muhajir yang mulia dan tokoh yang besarkarena akal dan kemuliaan jiwa serta kemauannya yang kuat. Asma’ dilahirkan tahun 27 sebelum Hijrah. Asma’ 10 tahun lebih tua daripada saudaranya seayah, Aisyah, Ummul Mu’minin dan dia adalah saudara se- kandung dari Abdullah bin Abu Bakar.
Asma’ mendapat gelar Dzatun nithaqain (si empunya dua ikatpinggang), karena dia mengambil ikat pinggangnya, lalu memotongnya menjadi dua. Kemudian, yang satu dia gunakan untuk sufrah (bungkus makanan untuk bekal) Rasulullah SAW, dan yang lain sebagai pembungkus qirbahnya pada waktu malam, ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash- Shiddiq keluar menuju gua.
Penduduk Syam mengolok-olok Ibnu Zubair dengan julukan “Dzaatun nithaqain” ketika mereka memeranginya. Maka Asma’ bertanya kepada puteranya itu, Abdullah bin Zubair :”Mereka mengolok-olokkan kamu ?” Abdullah menjawab :”Ya.” Maka Asma’ berkata :”Demi Allah, dia adalah benar.”
Ketika Asma’ menghadap Al-Hajjaj, dia berkata: “Bagaimana engkau mengolok-olok Abdullah dengan julukan Dzatun nitha- qain ? Memang, aku mempunyai sepotong ikat pinggang yang harus dipakai oleh orang perempuan dan sepotong ikat pinggang untuk menutupi makanan Rasulullah SAW.” Asma’ telah lama masuk Islam di Mekkah, sesudah 17 orang dan berbai’at kepada Nabi SAW, serta beriman kepadanya dengan iman yang kuat Pengamalan Islam Asma’ yang Baik Pada suatu ketika, datang Qatilah binti Abdul Uzza kepada puterinya, Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, sedangkan Abu Bakar telah menalaknya di zaman jahiliyyah, membawa hadiah-hadiah berupa kismis, samin dan anting-anting. Namun Asma’ menolak hadiah tersebut dan tidak mengizinkannya memasuki rumahnya. Kemudian dia memberitahu Aisyah :”Tanyakan kepada Rasulullah SAW ….?” Aisyah menjawab :”Bi- arlah dia memasuki rumahnya dan dia (Asma’) boleh menerima hadiahnya.”
Tindakan Asma’ yang Baik
Abu Bakar r.a. membawa seluruh hartanya yang berjumlah 5.000 atau 6.000 ketika Rasulullah SAW pergi hijrah. Kemudian kakeknya, Abu Quhafah datang kepada Asma’ sedangkan dia seorang buta. Abu Quhafah berkata :”Demi Allah, sungguh aku lihat dia telah menyusahkan kalian dengan hartanya, sebagaiamana dia telah menyusahkan kalian dengan dirinya.” Maka Asma’ berkata kepadanya:”Sekali-kali tidak, wahai, Kakek! Beliau telah meninggalkan kebaikan yang banyak bagi kita.”
Kemudian Asma’ mengambil batu-batu dan meletakkanya di lubang angin, di mana ayahnya pernah meletakkan uang itu. Kemudian dia menutupinya dengan selembar baju. Setelah itu Asma’ memegang tangannya (Abu Quhafah) dan berkata: “Letakkan tangan Anda di atas uang ini.” Maka kakeknya mele- takkan tangannya di atasnya dan berkata :”Tidaklah mengapa jika dia tinggalkan ini bagi kalian, maka dia (berarti) telah berbuat baik. Ini sudah cukup bagi kalian.”
Sebenarnya Abu Bakar tidak meninggalkan se- suatu pun bagi keluarganya, tetapi Asma’ ingin menenangkan hati orang tua itu. Az-Zubair ibnul Awwam menikah dengannya, sementara dia tidak mempunyai harta dan sahaya maupun lainnya, kecuali kuda. Maka Asma’ memberi makan kudanya dan mencukupi kebutuhan serta melatihnya. Me- numbuk biji kurma untuk makanan kuda, memberinya air minum dan membuat adonan roti. Suatu ketika Az-Zubair bersikap keras terhadapnya, maka Asma’ datang kepada ayahnya dan mengeluhkan hal itu.
Maka sang ayah pun berkata : “Wahai anakku, sabarlah! Sesungguhnya wanita itu apabila bersuami seorang yang sholeh, kemudian suaminya meninggal dunia, sedang isterinya tidak menikah lagi, maka keduanya akan berkumpul di surga.” Asma’ datang kepada Nabi SAW, lalu bertanya :”Wahai, Rasulullah, aku tidak punya sesuatu di rumahku, kecuali apa yang diberikan oleh Az- Zubair kepadaku. Bolehkah aku memberikan dan menyedekahkan apa yang di- berikan kepadaku olehnya ?”
Maka Nabi SAW menjawab :”Berikanlah (berse- dekahlah) sesuai kemampuanmu dan jangan menahannya agar tidak ditahan pula suatu pemberian terhadapmu.” Maka Asma’ adalah termasuk seorang wanita dermawan. Dari Abdullah bin Zubair r.a. dia berkata :”Tidaklah kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asma’.” Kedermawanan mereka berbeda. Adapun Aisyah, sesungguhnya dia suka mengum- pulkan sesuatu, hingga setelah terkumpul padanya, dia pun membagikannya. Sedangkan Asma’, maka dia tidak menyimpan sesuatu untuk besoknya. Asma’ adalah seorang wanita yang dermawan dan pemurah. Dia tidak menyimpan sesuatu untuk hari esok. Pernah dia menderita sakit, lalu dia bebaskan semua hamba sahayanya.
Asma’ ikut dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Az-Zubair, dan menunjukkan keberaniannya yang baik. Dia membawa sebilah belati dalam pasukan Said bin Ash di masa fitnah, lalu diletakkannya di balik lengan bajunya. Kemudian ditanyakan kepadanya :”Apa yang kamu lakukan dengan membawa ini ?” Asma’ menjawab :”Jika ada pencuri masuk kepadaku, maka aku tusuk perutnya.”
Umar ibnul Khaththab r.a. memberi tunjangan untuk Asma’ sebanyak 1000 dirham. Asma’ meriwayatkan 58 hadits dari Nabi SAW; dan dalam suatu riwayat dikatakan : bahwa dia meriwayatkan 56 hadits [Al-Kazaruni, "Mathaali'ul Anwaar"]. Telah sepakat antara Bukhari dan Muslim atas 14 hadits. Bukhari meriwayatkan sendiri atas 4 hadits, sedangkan Muslim juga meriwayatkan sebanyak itu pula. [Al-Hafih Al-Maqdisi, Al-Kamaal fii Ma'rifatir Rijaal].
Dalam satu riwayat : Diceritakan bahwa Asma’ meri- wayatkan 22 hadits dalam Shahihain. Sedangkan yang disepakati Bukhari dan Muslim 13 hadits. Bukhari meriwayatkan sendiri 5 hadits, sedangkan Muslim meriwayatkan 4 hadits. [Ibnul Jauzi, "Al-Mujtana"]
Asma’ Sebagai Penyair dan Pemberani
Asma’ adalah wanita penyair dan pemberani yang mempunyai logika dan bayan. Dia berkata mengenai suaminya, Az-Zubair, ketika dibunuh oleh Amru bin Jarmuz Al-Mujasyi’i di Wadi As-Siba’ (5 mil dari Basrah) ketika kembali dari Perang Jamal : Ibnu Jarmuz mencurangi seorang pendekar dengan sengaja di waktu perang, sedang dia tidak lari Hai, Amru, kiranya kamu ingatkan dia tentu kamu mendapati dia bukan seorang yang bodoh, tidak kasar hati dan tangannya semoga ibumu menangisi, karena kamu bunuh seoranng Muslim dan kamu akan terima hukuman pembunuhan yang disengaj
Tekad Asma’ yang Kuat, Kemuliaan Jiwa dan Keberaniannya
Kata-kata Asma’ kepada puteranya menunjukkan kepada kita tentang makna-makna yang luhur itu. Suatu saat puteranya, Abdullah, datang menemui ibunya, Asma’ yang buta dan sudah berusia 100 tahun. Dia berkata kepada ibunya :”Wahai, Ibu, bagaimana pendapat Anda mengenai orang yang telah meninggalkan aku, begitu juga keluargaku.” Asma’ berkata :”Jangan biarkan anak-anak kecil bani Umayyah mempermainkanmu. Hiduplah secara mulia dan matilah secara mulia. Demi Allah, sungguh aku berharap akan terhibur mengenaimu dengan baik.”
Kemudian Abdullah keluar dan bertempur hingga ia mati terbunuh. Konon, Al-Hajjaj bersumpah untuk tidak menurunkannya dari tiang kayu hingga ibunya meminta keringanan baginya. Maka tinggallah dia di situ selama satu tahun. Kemudian ibunya lewat di bawahnya dan berkata : “Tidakkah tiba waktunya bagi orang ini untuk turun ?”
Diriwayatkan, bahwa Al-Hajjaj berkata kepada Asma’ setelah Abdullah terbunuh :”Bagaimanakah engkau lihat perbuatanku terhadap puteramu ?” Asma’ menjawab :”Engkau telah merusak dunianya, namun dia telah merusak akhiratmu.” Asma’ wafat di Mekkah dalam usia 100 tahun, sedang giginya tetap utuh, tidak ada yang tanggal dan akalnya masih sempurna. [Mashaadirut Tarjamah : Thabaqaat Ibnu Saad, Taarikh Thabari, Al-Ishaabah dan Siirah Ibnu Hisyam]. Penulis buku, Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi mencatat dialog yang terjadi antara Asma’ dengan Abdullah, dalam sebuah kasidah yang di- anggap sebuah karya seni yang indah.
Dia berkata : Asma’ di antara manusia adalah sebaik-baik wanita ia lakukan perbuatan terbaik di saat perpisahan datang kepadanya Ibnu Zubair menyeret baju besi di bawah baju besi berlumur darah Ia berkata : Wahai, Ibu, aku telah payah dengan urusanku antara penawanan yang pahit dan pembunuhan yang keji. Teman-teman dan zaman mengkhianatiku, maka aku tak punya teman selain pedangku kulihat bintangku yang tampak terang telah lenyap dariku dan tidak lagi naik.
Kaumku telah berupaya melindungiku, maka tak ada penolong selain itu jika aku menerimanya. Asma’ menjawab dengan kelopak mata yang kering seakan-akan tidak ada tempat sebelumnya bagi air mata. Air mata itu berubah menjadi uap yang naik dari hatinya yang patah. Tidaklah diselamatkan kecuali kehidupan atau ia menjadi tulang-belulang seperti halnya batang pohon kematian di medan perang lebih baik bagimu daripada hidup hina dan tunduk jika orang-orang menelantarkanmu, maka sabar dan tabahlah, karena Allah tidak menelantarkan.
Matilah mulia, sebagaimana engkau hidup mulia dan hiduplah selalu dalam namamu yang mulia dan tinggi tiada di antara hidup dan mati kecuali menyerang di tengah pasukan itu. Kata-kata Asma’ kepada puteranya ini akan tetap menjadi cahaya di atas jalan kehidupan yang mulia, yaitu ketika puteranya berkata : “Wahai, Ibu, aku takut jika pasukan Syam membunuhku, mereka akan memotong- motong tubuh dan menyalibku.”
Asma’ menjawab dengan perkataan yang kukuh seperti gunung, kuat seperti jiwanya, besar seperti imannya, dan perkataan itulah yang menentukan akhir pertempuran : “Hai, Anakku, sesung- guhnya kambing yang sudah disembelih tidaklah merasa sakit bila ia dikuliti.” Al-Manfaluthi menyudahi kasidahnya dengan perkataan : Datang berita kematian kepada ibunya, maka ia pun mengeluarkan air matanya yang tertahan. Abdullah gugur sebagai syahid dan unggulan nilai-nilai yang tinggi dari ibu teladan. Kisah ini tercatat dalam lembaran-lembaran yang paling cemerlang dalam sejarah orang-orang yang kekal. Wallahu a’lam bishowab.
(dari berbagai sumber)
Posting Komentar