Di Balik Terputusnya Jari Kelingking

INI sebuah kisah tentang rasa syukur. Bukan sekedar kebetulan atau keberuntungan, tapi memang Allah sudah takdirkan.

Dahulu kala ada seorang raja yang suka berburu. Raja ini memiliki seorang penasihat yang dekat dengannya. Setiap berburu si penasihat ini selalu menyertainya. Suatu hari ketika berburu, jari kelingking raja terluka sehingga putus karena terkena pedangnya sendiri.

Si Raja bertanya kepada penasihatnya, “Apa makna dari kejadian ini?” Kemudian si penasihat mengatakan bahwa walau bagaimanapun buruknya kejadian ini, Raja harus tetap bersyukur, masih beruntung hanya jari kelingking saja yang putus.

Mendengar ucapan si penasihat, Raja menjadi marah karena Raja mengartikan si penasihat seakan senang raja mendapatkan musibah. Saking murkanya, Raja memenjarakan penasihatnya tersebut seumur hidup dan mencari penasihat yang lainnya. Seiring dengan perjalanan waktu, Raja dan penasihat barunya, tetap menjalankan hobinya berburu.

Pada suatu hari, karena keasyikan berburu Raja dan penasihat ini terpisah dari pasukan pengawal. Raja tersesat sampai ke tengah hutan belantara, yang belum pernah dia lalui sebelumnya. Tiba-tiba Raja dikepung oleh sekelompok orang, yang merupakan suku primitif pemangsa manusia.

Ketika akan memangsa Raja dan penasihatnya, mereka memeriksa seluruh tubuhnya karena mereka hanya memangsa manusia yang lengkap anggota tubuhnya. Ketika mendapati Si Raja yang jari kelingkingnya tidak ada, akhirnya dia melepaskannya. Namun, mereka tetap menjadikan penasihat Raja sebagai mangsa karena seluruh tubuhnya utuh, tidak ada yang cacat. Setelah dilepaskan, Raja berusaha mencari jalan keluar dari hutan. Akhirnya dia berhasil dan kembali ke istananya.

Sesampai di istana, si Raja merenungkan kejadian ini.

Di sinilah dia teringat akan nasihat penasihatnya terdahulu, yang mengatakan apapun kejadiannya patut disyukuri. Dia merasa menyesal telah memenjarakan penasihatnya, karena tidak mampu melihat apa makna dari rasa syukur yang disampaikan penasihatnya.

Segera Raja memerintahkan untuk membebaskan penasihatnya, kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya. Bahkan, Raja meminta maaf kepadanya lalu mengangkatnya lagi sebagai penasihat dan memberinya hadiah sebagai kompensasi hukuman yang diterimanya selama ini.

Sang penasihat menjawab,
“Saya telah memaafkan baginda, bahkan saya merasa bersyukur telah dipenjara. Kalau tidak, mungkin saya yang akan dijadikan mangsa oleh suku yang telah memangsa penasihat Raja, pengganti saya.”

Terkadang banyak diantara kita yang masih berucap syukur dengan kata untung. “Untung ada kamu,” atau “Untung ada lemari,” atau untung-untung yang lain lagi. Padahal saat kita berucap untung dan tidak mengucapkan lafadz hamdalah, kita sudah mengkufuri apa yang telah Allah berikan.

Padahal Allah sudah susunkan skenario terbaik untuk hidup kita. Jika tidak sesuai dengan keinginan biasanya kita akan mengeluh, dan menyalahkan orang lain. Bukankah seharusnya kita merenungi dulu perbuatan kita dan mengoreksi semuanya supaya tidak terjadi lagi di kemudian hari? Wallahu A’lam Bishshowwab.

Posting Komentar

Posting Komentar