Jaminan Produk Halal, Hak Publik
Oleh : Suwida Tahir
Memperoleh produk halal bagi setiap muslim adalah hak konstitusional, yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya mampu memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agamanya, termasuk dalam mengkonsumsi obat-obatan yang terjamin kehalalannya. Penegasan tersebut disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan dalam menanggapi sikap Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, yang menolak sertifikasi halal untuk produk farmasi dan obat-obatan, demikian laporan situs halalmui.com, Sabtu 7 Desember.
Seperti diketahui, sebelumnya Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan, pihaknya menolak sertifikasi halal pada produk farmasi pada Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Alih-alih memperjuangkan hak konsumen Muslim, Nafsiah Mboi justru menyatakan bahwa produk farmasi seperti obat dan vaksin memang mengandung barang haram, karena itu tidak perlu sertifikasi halal. “Menurut para ahli agama, obat-obatan yang mengandung babi bisa juga digunakan karena tujuannya untuk menyelamatkan nyawa orang,” tukasnya. Menurut Amidhan, dalam Islam, hukum mengonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda yang berbunyi: “Allah telah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan benda yang haram”. Di samping itu sesuai kaidah ushuliah yang berbunyi : “ Sesuatu yang haram awalnya meski diproses sedemikian rupa maka tetap hasil akhirnya juga haram”. Oleh karena itu Ketua MUI, Amidhan menyesalkan keterangan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi tersebut.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Hasrul Azwar, mengungkapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal merupakan sebuah kebutuhan mendesak untuk melindungi umat Islam dari produk-produk yang tak jelas kehalalannya. Hasrul menilai, upaya menolak atau menggagalkan disahkannya RUU Jaminan Produk Halal sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi negara. Pihaknya mengungkapkan, substansi RUU Jaminan Produk Halal telah melalui uji publik di berbagai wilayah, seperti Sumatra Utara, Batam, Sulawesi, dan Jawa Timur. “ Tanggapan masyarakat atas RUU ini sangat positif ”. Tak ada yang keberatan. Masyarakat memberikan dukungannya. RUU JPH menjadi penting bagi Umat Islam Indonesia. Persoalan kehalalan juga telah memunculkan berbagai kasus yang menghebohkan dan meresahkan umat. Contohnya kasus lemak babi yang terjadi pada tahun 1988, kasus sapi glonggong pada tahun 1999, kasus Ajinomoto pada tahun 2000, kasus sapi celeng pada tahun 2000, kasus vaksin meningitis pada tahun 2009, kasus dendeng dari abon sapi yang mengandung babi pada tahun 2009, dan terakhir kasus bakso babi pada Desember 2012. Tujuan dari RUU JPH ini adalah agar terciptanya ketentraman dan stabilitas di tengah masyarakat. Selain itu hal tersebut merupakan wujud pelaksanaan Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menyatakan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) adalah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada masyarakat dalam mengonsumsi atau menggunakan produk serta untuk menciptakan sistem JPH dalam menjamin tersedianya produk halal. Dengan demikian, adanya sistem JPH pada makanan, minuman, obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi dan produk rekayasa genetika, maka masyarakat dan produsen akan terlindungi. Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, menyayangkan pernyataan seorang pejabat publik yang secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Menghadapi sulitnya menemukan obat halal di Indonesia mestinya ada upaya secara sistematis dari pemerintah dan pemangku kepentingan lain seperti produsen farmasi, apoteker, dokter, ulama, pebisnis obat dan vaksin serta ilmuwan dari perguruan tinggi untuk secepat mungkin melakukan tindakan nyata, demi memberikan ketenteraman batin bagi konsumen.
Tindakan nyata dalam pengadaan obat halal perlu segera dilakukan mengingat Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada Pasal 60 ayat (1) telah menetapkan bahwa BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. “Ini artinya, masyarakat yang akan berobat secara cuma-cuma sebagai konsekuensi dari pemberlakuan UU BPJS akan semakin banyak karena telah dijamin oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus pula memberikan jaminan bahwa obat yang diberikan kepada masyarakat benar-benar terbebas dari unsur haram,”.
Dalam pandangan islam, perkara halal itu mutlak, namun beginilah hakikatnya Negara kapitalis yang bersikap regulator belaka yang tidak bergigi dan bertaring tajam. Tidak heran jika persoalan tidak kunjung usai. Kepentingan mayoritas yang berlandaskan syariat islam takkan bisa diakomodasi secara sempurna. Negara pun bukan sebagai pengurus umat, namun penyulit urusan umat. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya”(HR.Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, Negara hendaknya mampu memfasilitasi masyarakat dalam mengkonsumsi obat-obatan yang terjamin kehalalannya. Wallahu a’lam bi ash- shawab.
Posting Komentar