Ketika Sahabat Nabi Berbeda Pendapat

Para sahabat pun menghargai adanya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ dan menilai masing-masing pihak yang berbeda pendapat mendapat uzur dan pahala. 

Usai mendapatkan kemenangan dalam Perang Ahzab, Rasulullah beserta tentara kaum muslimin kembali ke kota Madinah. Saat zuhur, pada hari Rasululah Saw kembali ke Madinah dan saat itu beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah, Jibril mendatangi beliau seraya berkata, “Mengapa engkau meletakkan senjata?. Sesungguhnya para malaikat tidak pernah melatakkan senjatanya. Selagi kini engkau sudah pulang, maka sampaikan permintaan kepada orang-orang, lalu bangkitlah dengan orang-orang yang bersamamu ke Bani Quraizhah. Aku akan berangkat ke depanmu. Akan kuguncangkan benteng mereka lalu kususupkan ketakutan ke dalam hati mereka.” Maka Jibril pergi di tengah prosesi para malaikat. 

Rasulullah Saw memerintah seorang muazin agar berseru kepada orang-orang, “Siapa yang tunduk dan patuh, maka janganlah sekali-kali mendirikan salat asar kecuali di Bani Quraizhah.”

Kaum muslimin melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah. Secara berkelompok mereka berangkat menuju Bani Quraizhah. Saat tiba waktu salat asar, sebagian di antara mereka ada yang masih di tengah perjalanan. Sebagian yang lain berkata, “Kami tidak mendirikan salat asar kecuali setelah tiba di Bai Quraizhah seperti yang diperintahkan kepada kami.” Hingga ada sebagian di antara mereka yang mendirikan salat asar setelah tiba waktu isya. Mereka berkata, “Kami tidak saling mempermasalahkan hal ini. Karena yang dimaksudkan beliau agar kami cepat-cepat pergi. Sekalipun ada yang mendirikannya di tengah perjalanan, tak seorang pun yang mempermasalahkannya.”

Nabi Saw sama sekali tidak mencela seorang sahabat pun dari dua kelompok yang berbeda pendapat tersebut.

Profesor Doktor Muhammad Ali Ash-Shalabi dalam kitab Sirah Nabawiyah, menjelaskan bahwa peristiwa ini menunjukan satu poin penting berkenaan dengan salah satu asas syar’i terbesar, yaitu mengahargai prinsip perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ dan menilai masing-masing pihak yang berbeda pendapat mendapat uzur dan pahala, di samping mengisyaratkan prinsip berijtihad dalam mencari hukum-hukum syar’i. Ini menunjukkan, melenyapkan perbedaan dalam masalah-masalah furu’ yang bersumber dari dalil-dalil zanni merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dibayangkan atau terjadi.

Sembari mengutip pendapat Syekh Doktor Said Ramadhan Al-Buthi dalam kitab Fiqhus Sirah, Ash-Shalabi menuliskan bahwa usaha untuk melenyapkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ bertentangan dengan hikmah rabbani dan aturan ilahi dalam pemberlakuan syariat, di samping melakukan tindakan sia-sia dan batil. 

“Bagaimana bisa perbedaan pendapat dalam suatu hal bisa dilenyapkan selama dalailnya masih bersifat zanni dan mungkin. Jika pemberantasan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ terjadi di masa kita tentu masa yang lebih berhak untuk itu adalah masa Rasulullah, dan tentu orang-orang yang paling baik untuk tidak berbeda pendapat adalah para sahabat. Toh mereka sendiri berbeda pendapat seperti yang sudah anda tahu,” kata Al-Buthi. 

Dari hadis sebelumnya dapat dipahami, tidaklah tercela orang-orang yang bersandar pada tekstual hadis Nabawi atau ayat Alquran, juga tidak tercela orang orang yang mengambil maksud dan makna tertentu dari suatu nash. Hadis ini juga menunjukkan, orang-orang yang berbeda pendapat dalam masalah furu’ termasuk kalangan mujtahid, tidak ada dosa bagi yang salah. Nabi Saw sendiri bersabda, “Bila hakim berijtihad lalu benar, ia mendapat pahala, dan bila berijtihad lalu keliru, ia mendapat satu pahala”.

Kesimpulan riwayat, sebagian sahabat mengartikan larangan Nabi Saw tersebut secara hakiki, tidak peduli apakah waktu salat asar habis ataukah tidak, mereka mengkhususkan larangan untuk mengakhirkan salat dari waktunya dengan larangan khusus ini.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani memberi ulasan atas kejadian ini sebagai berikut: “Menjadikan kisah ini menjadi dalil bahwa setiap mujtahid benar secara mutlak tidaklah tepat, dalam hal ini Rasulullah hanya tidak mencela orang yang mencurahkan segenap usaha dan berijtihad, dengan demikian dapat dipahami beliau tidak menilai hal tersebut berdosa meskipun salah ijtihadnya. Kesimpulan yang terjadi dalam kisah ini, sebagian sahabat mengartikan nash tersebut secara tekstual, mereka tidak peduli apakah waktu salat asar sudah habis atau belum, lebih menguatkan larangan kedua ini atas larangan pertama (larangan mengakhirkan salat di luar waktu). Mereka berdalil untuk bolehnya menunda salat bagi yang sibuk berperang seperti yang terjadi dalam perang Khandaq. Sementara sebagian sahabat lain mengartikan, larangan tersebut secara tidak tekstual, maksud larangan tersebut adalah kiasan agar mempercepat perjalanan ke Bani Quraizhah. Inilah dalil yang dijadikan landasan jumhur bahwa orang yang berijtihad tidak berdosa karena Rasulullah tidak mencela seorang pun dari kedua kubu yang berbeda pendapat. Andai hal itu berdosa pasti Rasulullah mencela kubu yang bersalah dalam ijtihadnya itu.” Wallahu a’lam bissawab. [shodiq ramadhan]

[]suaraislam.com/gerilya-dakwah.blogspot.com
Posting Komentar

Posting Komentar