Mengenal Medan Dakwah Yang Menjadi Poros Hidup di Kampus

Mengernal Medan Dakwah Kampus
Masyarakat, dalam sisi sebuah bentuk komunitas yang terdiri lebih dari satu orang, pasti memiliki sifat heterogen. Demikian pula halnya kampus sebagai miniatur dari masyarakat. Maka bagi aktivis dakwah, bergelut dalam dunia dakwah kampus adalah suatu bentuk pembelajaran tersendiri untuk bekal terjun ke masyarakat nantinya. Hanya salah satu perbedaannya, tingkat heterogen ‘masyarakat’ kampus jauh lebih rendah dibandingkan masyarakat dalam artian sebenarnya, mulai dari sisi usia, profesi, hingga rumah tangga. Mahasiswa sebagai komponen utama dalam masyarakat kampus nyaris seragam dalam hal-hal tersebut.

Meski bersifat heterogen, suatu kampus tetap memiliki kecenderungan terhadap suatu pola karakter tertentu. Antara kampus yang berada di wilayah barat Indonesia tentu berbeda karakternya dengan kampus yang berada di daerah sebelah timur. Di sini letak geografis menjadi faktornya. Universitas negeri dengan universitas swasta juga berbeda, dalam hal status pengakuan. Implikasinya bisa merambah menjadi subfaktor-subfaktor seperti perbedaan biaya, jadwal kuliah, dan lain-lain. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi karakter mahasiswa yang bernaung di dalamnya. Maka kita akan biasa menyaksikan, kampus yang menerapkan kuliah malam sebagian besar mahasiswanya memiliki kerja sambilan pada pagi harinya, -atau mungkin pula mereka adalah pekerja yang menyambi kuliah. Suatu pemandangan yang tentu saja akan lebih jarang kita temui di universitas negeri.

Bagi lembaga dakwah kampus (LDK), pemahaman terhadap karakter mahasiswa di kampusnya adalah suatu keharusan. Ali r.a pernah mengatakan, “Ajaklah manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami, dan tinggalkan apa yang (yang tidak mereka mengerti). Apakah kamu ingin Allah dan Rasulnya-Nya didustakan?” (diriwayatkan oleh al-Bukhari). Demikianlah, Ali yang terkenal akan kecerdasannya, mengejewantahkan salah prinsip dakwah, yang juga tersirat dalam salah satu firman Allah, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (TQS. Ibrahim : 4).

Peniruan terhadap konsep uslub (pendekatan) dari sebuah LDK yang lebih mapan adalah suatu yang mesti dihindari, apabila dilakukan secara mentah-mentah dan tanpa tendeng aling. Pendekatan yang telah terbukti berhasil tentu saja masih dapat dijadikan sebagai raw model (model mentah). Hanya saja, sebagaimana sifatnya yang raw (mentah), maka pendekatan tersebut perlu “dimasak” ulang oleh koki dakwah di kampus tersebut. Karena bagaimanapun, suatu hal yang perlu menjadi perhatian besar bagi sebuah LDK adalah penyesuaian strategi dakwah berdasarkan karakteristik kampusnya. Dengan demikian, maka strategi dakwah kampus cenderung bersifat unik. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi aktivis dakwah kampus, karena dituntut memiliki kedalaman dan kecermelangan berpikir untuk memilih uslubdakwah yang paling baik.

Sirah pun mengajarkan kita, bagaimana Rasulullah SAW senantiasa melakukan strategi yang memperhatikan karakter objek dakwah. Hal ini dapat kita telisik mulai dari pengutusan Mush’ab bin Umair ke Yastrib, yang membawa pada pendirian negara Islam pertama di Madinah. Mush’ab bin Umair adalah sosok komunikator yang ulung. Ditunjang bekalnya selama menjadi pemuda kelas atas sebelum masuk Islam, beliau menjadi pilihan tepat dalam menyampaikan risalah kenabian kepada masyarakat Yastrib. Begitu terus berlanjut, hingga ekspedisi luar negeri Islam. Rasulullah mengirimkan surat untuk pertama kalinya pada tahun 9 H atau 631 M. Dalam satu yang hari yang sama itu Rasulullah, dengan bantuan sahabat terpercaya menulis 6 surat sekaligus. Surat-surat tersebut dibawa para sahabat pilihan yang tidak saja menguasai bahasa kaum yang akan didatanginya tetapi juga mengerti kultur dan kebiasaan mereka. Sahabat tersebut adalah Amr bin Umaiyyah adh-Dhamri, Dahyah bin Khalifah al-Kalbi, Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi, dan Harits bin Umair al-Adzi.

Memang, tidak akan ada Mush’ab bin Umair yang kedua. Sama halnya dengan para sahabat pilihan lainnya. Namun, catatan hidup mereka adalah suatu yang menjejak. Maka bagi kita, perjalanan mereka di dunia adalah suatu bahan perjalanan dalam memahami mad’u (objek dakwah), dalam konteks masyarakat luas pun lebih khusus lagi di ruang lingkup kampus. Semoga memang benar akan menjadi pelajaran.[]


Oleh : Dimas G. Randa (Sekjen Gema Pembebasan) []gerilya-dakwah.blogspot.com
Posting Komentar

Posting Komentar