Perhatian Islam Terhadap Hak-hak Lingkungan

Salah seorang filsuf Barat, Nietzsche, mengatakan,”Orang-orang lemah dan tidak mampu, wajib mengetahui hak-hak mereka. Sebab, hak merupakan dasar pertama dari dasar kecintaan kita kepada kemanusiaan. Wajib pula bagi kita untuk membantu mereka dalam hal ini (dinukil dari Al Ghazali, Rakaiz Iman Baina Al Aqli wa Al Qalbi, hal. 318).”

Namun ahli filsafat Islam tak membatasi nilai akhlak yang menjadi ketetapan masyarakat berupa hak yang meliputi setiap sisi manusia. Semua itu tanpa perbedaan warna atau jenis dan bahasa. Ia juga meliputi pedoman yang digunakan masyarakat, memelihara Islam dengan kekuatan syariat. Lalu menjamin aplikasinya, menjalankan hukuman kepada orang yang melanggar nilai akhlak tersebut. Diantara hal itu adalah penjelasan tentang Hak-Hak Lingkungan.

Allah menciptakan lingkungan semesta alam yang indah, damai, manfaat, yang diatur manusia. Merupakan kewajiban penting bagi manusia untuk memelihara habitat atau lingkungan semesta alam. Sebagaimana pentingnya menyeru manusia supaya berpikir tentang ayat-ayat Allah Ta’ala akan kejadian alam semesta, yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun. Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.”(Qaaf: 6-7)249

Karena itu, tumbuh dan terjalinlah hubungan cinta dan kasih sayang antara Muslim dengan lingkungan sekitarnya berupa benda mati dan benda hidup. Memelihara lingkungan alam itu untuk manfaat di dunia. Sebab, dengan memelihara lingkungan alam sekitar, maka akan menimbulkan kehidupan yang indah dan memesona. Sedangkan di akhirat terdapat pahala yang besar di sisi Allah Ta’ala.

Dalam pendangan Nabi, lingkungan sebagai penguat pada sudut pandang Al-Qur’an yang universal tentang alam semesta, yang menegaskan bahwa di sana terdapat hubungan erat dan timbal balik antara manusia dan unsur-unsur alam semesta. Sedangkan titik temunya adalah terpancarnya keyakinan bahwa jika manusia berbuat buruk atau menggunakan unsur-unsur habitat alam secara membabi buta, maka alam pun akan meledak mengakibatkan kerusakan secara langsung.

Karena itu, syariat Islam dating membawa aturan pada setiap manusia yang hidup di atas muka bumi, agar jangan sampai membawa kerusakan dalam bentuk apapun pada semesta ini. Rasulullah berkata, “Tidak ada kerusakaan tidak pula bahaya…”250 Kemudian syariat Islam mengiringinya dengan kewaspadaan dari pencemaran lingkungan atau kerusakan. Rasulullah dalam masalah ini bersabda, “Bertakwalah kalian dari tiga laknat: bertempur di sumber air, melubangi jalan, dan merusak tempat berteduh.”251

Rasulullah menyatakan, memelihara diri dari tindak gangguan merupakan hak-hak di jalan umum. Diriwayatkan Abu Said Al-Khudri bahwasanya Nabi bersabda, “Hindarilah oleh kalian duduk-duduk di tempat duduk tepi jalan.” Para sahabat bertanya, “Kami tidak bias menghindarinya, karena itu merupakan tempat mangkal dan tempat kami bercakap-cakap.” Lalu Nabi bersabda, “Jika kamu terpaksa duduk-duduk di sana, hendaklah kalian berikan hak bagi orang yang berjalan.” Para sahabat bertanya, “Lantas apakah hak jalan itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Memelihara diri dari menyakitinya…”252 (Memelihara diri untuk tidak mengganggu) ini merupakan kalimat yang menyeluruh pada setiap gangguan dari manusia yang menggunakan jalan umum atau jalan raya.

Secara umum Rasulullah mengikat antara pahala dan pemeliharaan lingkungan, sebagaimana sabdanya, “Telah ditampakkan amalan umatku, baik dan buruknya. Lalu aku mendapati salah satu amalan baiknya adalah menyingkirkan gangguan yang berada di tengah jalan. Aku mendapati salah satu amalan yang buruk di antaranya adalah berdahak di masjid dan tidak dipendam.”253

Beliau secara tegas memerintahkan untuk membersihkan tempat tinggal, sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai yang baik-baik. Allah itu bersih menyukai yang bersih-bersih. Karena itu, sucikan perabot-perabot kalian. Jangan menyerupai orang-orang Yahudi.”254

Sungguh alangkah dalam pengajaran dan syariat yang mneganjurkan kehidupan baik terbebas dari segala macam kotoran. Demikian itu dapat menimbulkan ketenangan jiwa manusia dan sehat sentosa.
Dalam bentuk yang jelas dan gamblang, Islam menetapkan anjuran untuk memelihara lingkungan serta keindahannya, sebagaimana yang tampak dalam sabda Rasul saat seorang sahabat bertanya kepadanya, “Apakah termasuk di antara sikap sombong itu adalah memakai pakaian dan sandal yang bagus? Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong itu mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia.”255 Tidak diragukan lagi bahwa keindahan adalah anjuran untuk menampakkan lingkungan yang telah diciptakan oleh Allah dengan indah dan menawan.

Sebagaimana kita dapati dalam petunjuk Rasul pada kecintaan beliau terhadap wewangian yang harum semerbak di antara manusia, memberinya petunjuk, memperindah lingkungan, menentang lingkungan yang jorok. Karena itu, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menampilkan bau wangi, hendaklah dia tidak menolaknya. Sesungguhnya itu merupakan tempat yang membawa keringanan dengan bau yang wangi.”256
Termasuk di antara keagungan islam sebagaimana disunnahkan dalam syariat, khususnya soal lingkungan, dalam sebuah hadits terdapat anjuran untuk menyuburkan bumi dan menanaminya, sebagaimana sabdanya, “Tidaklah seorang Muslim menanam biji kecuali apa yang dimakan darinya itu merupakan sedekah. Apa yang dicuri merupakan sedekah. Apa yang dimakan oleh binatang buas baginya sedekah. Apa yang dimakan burung baginya sedekah. Tak seorang pun yang menanamnya257 kecuali baginya itu sedekah.”258

Termasuk keagungan Islam adalah bahwa pahala menanam membawa manfaat baik bagi lingkungan yang tinggal di sekitarnya terus-menerus mengalir selagi tanaman itu bias dipetik manfaatnya, meski tanaman itu berpindah menjadi milik orang lain yang menguasainya, atau sebab meninggalnya orang yang menanam.
Syariat Islam telah memberikan upah (hak untuknya) yang dianugerahkan kepada manusia yang menyuburkan bumi yang kerontang. Sebab, menanam pohon, atau menanam biji-bijian, mengairi bumi yang kering dan gersang, termasuk perbuatan baik dan amal kebajikan. Dalam masalah ini Rasul bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang telah mati, tanah itu menjadi haknya – yaitu pahalan – dan apa saja yang dimakan oleh Al-Awaafi (Burung dan binatang buas)259 bagi orang tersebut merupakan sedekah.”260

Karena air termasuk salah satu penggerak sumber kehidupan bagi lingkungan semesta alam, maka kita tidak boleh boros menggunakan air. Menjaga kesuciannya merupakan aturan pokok dalam Islam. Rasulullah dalam masalah air ini memberi nasihat supaya tidak berlebih-lebihan. Sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bahwa Nabi bertemu Saad261 sedang dia dalam keadaan wudhu. Beliau bersabda, “Mengapa terjadi pemborosan air ini, hai Saad?” Saad menjawab, “Apakah dalam berwudhu juga termasuk pemborosan?” Beliau bersabda, “Benar, meski kamu berada dalam sungai yang mengalir.”262 Nabi juga melarang mencemari air, dengan larangan kencing di air yang tidak mengalir.263

Inilah pandangan Islam serta peradaban Islam bagi lingkungan semesta alam. Pandangan yang memberikan keyakinan bahwa lingkungan dan berbagai macam ruang lingkupnya itu saling berinteraksi, timbal balik dan saling menyempurnakan, saling mendukung sesuai dengan sunatullah yang berlaku di alam semesta yang telah diciptakannya dalam sebaik-baik bentuk. Karena itu, setiap Muslim wajib menjaga dan memelihara keindahan tersebut. []

Footnote :
  • 249 Al-Bahij: Sesuatu yang cantik meiputi keindahan, bahagia, dan sedap jika di pandang. Lihat: Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, Madah Bahaja (2/216).
  • 250 HR. Ahmad dari Ibnu Abbas (2719), Syuaib Al-Arnauth mengatakan, “Hadits ini hasan.” Hakim (2345) dan berkata, “Sanadnya shahih dnegan syarat Muslim dan dia tidak mengeluarkannya.”
  • 251 Lihat: Al-Adzim Abadi, Aunul Ma’bud (1/13).
  • 252 HR. Al-Bukhari dari Abu Said Al-Khudri, Kitab Al-Mazhalim, Bab Afniyatut Daur wa Al-Julus fiiha wa al-Juluus ala Sha’adaa’ (2333). Dan riwayat Muslim, Kitab Al-libaas wa Az-Ziinah, Bab Nahyu anil Juluus fi Thuruqaat wa I’thaa’u thariq haqqahu (2112).
  • 253 HR. Muslim dari Abu Dzar, Kitab Al-Masaajid wa Mawaadhi’us Shalat, Bab An-Nahyu ‘anil Bishaaq fii masjid fii Shalat wa Ghairuha (553), dan Ahmad (21589), Ibnu Majah (3683).
  • 254 HR. At-Tirmidzi dari Saad bin Abi Waqqash, Kitab Al-Adab, Bab Maa Jaa’a fii An-Nazhafah (2799), Abu Ya’la (790), Al-albani mengatakan, “Hadits ini shahih.” Lihat: Misykat Al-Mashaabiih (4455).
  • 255 HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Kitab Al-Iman, Bab Tahrim Al-kibr wa Bayaanuhu (91), Ahmad (3789), dan Ibnu Hibban (5466).
  • 256 HR. Muslim dari Abu Hurairah: Kitab Al-faadz min Al-Adab wa Ghairuha, Bab Istikmal Al-Misk (2253), Tirmidzi (2791).
  • 257 Yazra’ahu ahad artinya jangan sampai mengurangi dan mengambilnya. Lihat; Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, Madah Raza’a1/85.
  • 258 HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah, Kitab Al-Masaaqat, Bab Fadhlul Gharsyu wa Zar’u (1552), Ahmad (27401).
  • 259 Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, Madah Afaa (15/72).
  • 260 HR. An-Nasa’i dari Jabir bin Abdullah, Kitab Ihya’ Al-Mawaat, Bab Hatsu alaa Ihyaa’ Al-Mawaat (5756), Ibnu Majah (5205), Syuaib Al-Arnauth mengatakan, “Hadits Shahih.”
  • 261 Saad bin Abi Waqqash bin Wahib Az-Zuhri adalah salah seorang sahabat Nabi yang di jamin masuk surge dan sahabat yang kematiannya paling akhir. Lihat: Ibnu Atsir, Asadul Ghabah (2/433), Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishaabah (3/73 (3196).
  • 262 Ibnu Majah, Kitab Thaharah wa Sunanuha, Bab Maa Ja’a fi Al-Qashar wa Karahiyatu Ta’addaa fihi (425), Al-Albani menghasankan hadits ini. Lihat: Silsilah Ash-Shahihah (3292).
  • 263 HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah, Kitab Thaharah, Bab An-Nahyu Anil Bauli fii Al-maa’I (281), Abu Dawud (69), Tirmidzi (68).
Disusun ulang oleh Tim Redaksi MuslimDaily.net dari buku Raghib As Sirjani, Prof. Dr., Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al Kautsar, 2011. (Terjemahan dari buku Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishamaatu al Muslimin fi al Hadharah al Insaniyah, Mu’asasah Iqra’. 2009.)

[globalmuslim.web.id/gerilya-dakwah.blogspot.com]
Posting Komentar

Posting Komentar