“Cabe-Cabean”, Permisivisme dan Implementasi Feminisme Tanpa Sadar
Jakarta masih diguyur hujan deras. Sudah 3 hari berturut- turut Ibu Kota negara ini kehilangan teriknya mentari. Seorang gadis belia berumur 19 tahun, sebut saja namanya Bella, salah satu di antara sekian banyak orang yang berteduh menunggu hujan reda di lobi sebuah hotel mewah di Jakarta Pusat hari itu.
Lamanya hujan membuat Bella membuka obrolan ke sana-kemari tak ujung arah. Namun obrol cukup mengagetkan ketika ia mengaku tentang identitas dan kegiatannya sehari-hari.
“Ada beberapa klien yang harus saya temui, Mas,” jelas Bella saat ditanya kesibukannya hari itu. Bella masih berusia 18 tahun. Sekarang duduk di sebuah sekolah favorit di Jakarta.
Namun yang cukup mengagetkan, tanpa malu istilah “klien” yang disebutnya itu adalah tamu laki-laki yang siap membayarnya.
Pemandangan ini sangat mengagetkan. Bagaimana mungkin anak-anak yang tergolong masih belia tanpa malu dan risih menunjukkan identitasnya sebagai seorang pemuas nafsu pria-pria hidung belang.
Berbeda zaman dulu di mana seorang (maaf) Wanita Tuna Susila (WTS) bahkan masih membutuhkan perantara yang lazim disebut germo. Bella mengaku jujur, dia mempromosikan jasa maksiatnya cukup melalui media sosial.
Cukup menampilkan identitasnya di media sosial lengkap dengan foto dan kontak, para hidung belang langsung menghubunginya via inbox (pesan personal, red). Dari situ, ia mulai membuat janji dengan member nomor kontak.
Obrolan makin memprihatinkan taktala disinggung soal masa depan, dosa dan agama.
“Jangan bicara dosa Mas, ini tubuh-tubuh saya terserah saya mau apain,” jelasnya Bella agak meninggi ketika hidayatullah.com menyelipkan pertanyaan soal agama.
Mengaku dari keluarga Muslim, Bella menjelaskan kedua orangtuanya tidak tahu apa yang dikerjakannya untuk mencari uang tambahan.
Bella mengaku, hidup yang ia jalani saat ini justru bermua dari pergaulan sekolah. Kala itu, ia termasuk salah satu gadis ‘cabe-cabean’. Gadis ‘cabe-cabean’ adalah istilah bagi para remaja wanita ‘nakal’ yang didentikan sebagai penghibur wanita.
Di Ibu Kota Jakarta, gadis cabe-cabean adalah kelompok ABG (Anak Baru Gede) yang tergabung dalam geng balap motor liar yang terdiri dari remaja laki-laki dan perempuan. Para pemenang balapan bisa mengencani si gadis sesuai keinginannya.
Perempuan itulah yang dipredikati sebagai cabe-cabean, remaja putri yang melakukan kenakalan demi mendapat perhatian.
Saat ditanya apa konpensasi menjadi gadis berpredikat cabe-cabean, ia hanya berkomentar ringan.
“Ya nggak harus bayar juga sih mas, kalau memang kita suka sama cowok ya kita justru kalah gengsi kalau nggak bisa tidur (zina, red) dengan cowok itu,” jelas Bella mengenai fenomena gadis cabe-cabean tersebut.
Sebelumnya, hal yang sama sempat kami temui di Kota Bandung. Adalah Lisa (bukan nama sebenarnya) yang seumuran dengan Bella. Lisa menjalani gaya hidup bebas sebagaimana Bella. Ia menjadi langganan beberapa pemuda mulai dari anggota Klub Motor, karyawan kantoran hingga jadi pesanan acara–acara musik.
“Biasanya kalau acara musik, kalau ada band luar negeri minta disediakan perempuan kita sudah biasa dikontak Mas,” jelas Lisa yang mengaku biasa melayani nafsu para lelaki bejat tersebut.
Ia bahkan merasa direndahkan jika tindakannya itu semata-mata dinilai dengan uang.
“Salah kalau bilang kami begini karena butuh uang. It’s for fun (bersenang-senang, red.) dapat uang hanya dampak dari kesenangan itu,” tambah Lisa seolah bangga.
Fenome Feminisme?
Fenomena gadis cabe-cabean muncul sejak tiga tahun belakangan ini. Selain ada istilahcabe-cabean, fenomena yang bisa menggambarkan dari revolusi kenakalan remaja adalahbisyar (habis dipakai dibayar, red), groupies dan sebagainya.
Cabe-cabean identik dengan dunia balap motor liar. Di arena balapan liar, mereka berkeliaran sebagai barang taruhan para joki. Sementara istilah groupie lekat di dunia musik. Ia adalah para ABG yang mencari keintiman dengan para musisi, penyanyi atau selebriti lainnya. Kata groupie mengacu pada kata “group” (kelompok/grup musik).
Mereka tidak hanya menjual diri untuk zina, mereka bahkan tidak segan untuk tidur gratis dengan lelaki yang mereka sukai tanpa bayaran.
Sekjend Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) Rita Hendrawaty Soebagio mengatakan, tersentak dan kaget. Ia tak menyangka bahwa gaya hidup seperti ini sudah benar-benar berada di Indonesia.
Menurutnya, fenoma lahirnya generasi Bella dan Lisa tak lepas dari paham feminisme dan permisivisme.
“Pemikiran perempuan bahwa ini tubuh gue dan gue berhak mau ngapain dengan tubuh gue adalah salah satu doktrin feminis,” jelasnya pada hidayatullah.com belum lama ini.
“Ini fenomena baru yang harus disadari masyarakat, feminisme sudah masuk tanpa disadari ke tingkat akar rumput masyarakat,” jelas peneliti the Center for Gender Studies(CGS) ini.
Sementara anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa menjelaskan bahwa perilaku seperti ini jelas tidak hadir karena masalah ekonomi semata tapi rusaknya cara berpikir generasi muda.
“Masyarakat sudah mulai harus diajak berpikir dua arah,” jelas Ledia kepada Selasa (28/01/2014).
“Memikirkan aturan Undang-undangnya itu baik tapi sosialisas agama dan norma ketimuran ke masyarakat jangan ditinggal,” jelasnya.
Saat ini menurut Ledia, sudah ada aturan mengenai perzinahan. Hanya Undang-undang soal perzinahan ini hanya berlaku bagi mereka yang sudah berkeluarga namun berselingkuh.
“Ini momentum umat untuk memperjuangkan aturan dimana seks diluar nikah juga perlu ada penindakan hukum,” tambah Ledia.
Sementara Fahira Idris, Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Minuman Keras (GeNAM) yang baru saja memperjuangkan penutupan rumah prostitusi di lingkungannya juga mengaku prihatin dengan adanya informasi seperti ini.
“Prostitusi seperti sesuatu hal yang biasa bahkan dianggap mata pencarian, ini hal serius yang harus dipikirkan oleh masyarakat kita,” jelasnya kepada hidayatullah.com, minggu lalu.
Rita Soebagyo sendiri berpendapat sudah saat sosialisasi feminisme gencar ke masyarakat akar rumput. Mengingat impelementasi gagasan feminisme justru lebih rentan di masyarakat awam. Lebih berbahaya lagi menurut Rita, seseorang menjalankan ide-ide feminisme ternyata tidak perlu menunggu paham apa itu feminisme.
“Kita perlu melawan RUU Kesetaraan Gender sebagai untuk menunjukkan bahwa umat Islam tidak diam, tapi kita jangan lengah dengan pembinaan internal pribadi dan keluarga kita untuk paham ancaman feminis bisa dijalankan siapa saja tanpa perlu paham apa itu feminisme terlebih dahulu,” jelas aktivis INSISTS ini.
Bagi Rita, Fenomena pergeseran budaya tidak hanya mengancam pada tataran pemikiran. Dalam implementasinya penyimpangan seksual yang terjadi di sebagian kecil masyarakat merupakan hal yang patut di waspadai. Lesbian, Homoseksual (Gay), Biseks (suka pada laki-laki dan perempuan) hingga transgender (Waria/bencong) merupakan gaya hidup yang mulai dipertontonkan secara terbuka.
Gaya hidup rusak itu, menurutnya, awalnya diselipkan dalam tontonan hingga benar-benar menjadi gaya hidup yang diperjuangkan.
Sumber: Hidayatullah.com
Posting Komentar