Jokowi Capres, Indonesia Hebat?

Ini sebenarnya adalah pertarungan sosok. Pertarungan itu benar-benar telah dimulai. Joko Widodo (Gubernur DKI) diberikan mandat oleh Megawati selaku Ketua Umum DPP PDIP. Jumat (14/3) melalui pernyataan Puan Maharani, secara resmi partai berlambang banteng ini menjadikan Jokowi sebagai Calon Presiden.

Tentu ini guna meraih elektabilitas Partai Banteng tersebut. Selain itu, tampaknya PDIP mulai serius bertarung sosok dan kepartaian ketika partai penguasa hari ini penuh masalah. Ini peluang kembalinya PDIP menjadi pemimpin partai.

Bagaimana nasib tokoh capres dari partai lainnya? Abu Rizal Bakrie (ARB) sudah lebih dahulu dan paling awal mendeklarasikan diri sebagai Calon Presiden dari partai Golkar. Sosok ketua umum dianggap layak oleh anggota partai untuk dapat menduduki trah kursi orang no.1 di Indonesia ini. Sayangnya, sosok ARB telah tersandung masalah Lumpur Lapindo. Tapi sepertinya, Golkar tengah berupaya membuat “lupa” masyarakat dari kasus ini.

Ada perlu pasangan gurem, kalau memang saya bilang begitu. Wiranto dan Harry Tanoe dari Partai Hanura. Mungkin sikap percaya diri dan test case bisa jadi alasan besar kenapa pasangan WIN-HT ini mendeklarasikan dirinya. Apalagi mengingat track record HT sebagai pengusaha sepertinya belum berpengalaman dalam dunia politik di Indonesia.

Yusril Ihza Mahendra juga demikian. PBB tampaknya terlalu dini melakukan deklarasikan kepada sosok penting di partai bergambar bulan bintang tersebut. Tapi memang, keinginan besar Yusril untuk menjadi capres tak bisa dihentikan. Upayanya untuk terus melaju menjadi Capres terlihat semakin matang tatkala mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pengajuan capres.

Sementara Partai Demokrat, masih sibuk mencari sosok ideal yang layak dan pantas maju sebagai Calon Presiden partai mereka. Konvensi partai sepertinya menjadi jalan perbaikan bagi partai mencari sosok yang pantas menggantikan sang pendiri partai menduduki trah kekuasaan berikutnya. Tak main-main, ada 10 sosok yang tak bisa dianggap remeh ikut serta meramaikan Konvensi Partai Demokrat.

Selebihnya, ada Rhoma Irama dengan segala kontroversinya, pak Jusuf Kalla, Prabowo Subiakto hingga sosok Risma seorang walikota Surabaya yang memberikan inspirasi dalam memimpin kota metropolitan.
Terakhir hal paling menarik adalah pencalonan dari Partai Keadilan Sejahtera. Partai yang memiliki basis kader militan ini, memiliki 3 bakal calon yang siap berperang dalam kompetisi politik. Dari Anis Matta, Ahmad Heryawan hingga nama Hidayat Nur Wahid. Bagi saya, siapa pun yang menjadi calon dari PKS, tak begitu penting. Yang paling menarik adalah konsistensi partai dan gerak militan kader dakwah mereka yang kebanyakan merupakan aktivis kampus.

Pertarungan Individu Bukan Pertarungan Ide

Jelas sekali, tatkala PDIP benar-benar mencalonkan Jokowi sebagai Capres dari partai banteng ini, telah membuat kebakaran sejumlah tokoh dan partai politik. Maklum, ada anekdot menarik terjadi, yaitu Kalau Jokowi sudah disiapkan jadi Calon Presiden, maka segera cari Calon Wakil Presiden dan lantik secepat mungkin. Daripada APBN habis hanya untuk pemilihan yang kita sudah tahu pemenangnya.

Pada akhirnya, level persaingan bukan pada taraf ide perubahan. Tetapi justru pada individu perorangan. Sehingga orang melakukan gerakan perlawanan terhadap Jokowi dan menyudutkan aktivitas jokowi saat ini, bukan pada perlawanan ide dan gagasan. Inilah yang membuat kondisi perpolitikan kita hari ini tak cukup dinilai dewasa, meskipun usia negeri ini hampir mendekati angka 70 tahun tapi dalam perkara kedewasaan berpolitik tetap lamban berkembang.

Sangat disayangkan bila pada faktanya, justru semua calon menyerang jokowi. Atau sesuai dengan kalimat politik Demokrasi, bahwa dalam politik itu tidak ada teman yang abadi tetapi kepentingan yang abadi. Dan ini sangat cocok menggambarkan posisi politik di negeri ini.

Sebab seharusnya, partai politik dan calonnya memajukan ide untuk menyongsong Indonesia yang lebih baik. Maklum saja hari ini, tak ada partai politik yang menawarkan platform perubahan yang radikal di negeri ini. Model negara yang ingin di contoh pun tak memiliki landasan dan dasar. Sehingga masyarakat telah menilai, bahwa parpol justru memunculkan politik penuh tawa dan kemunafikan belaka.

Menggagas Indonesia Hebat

Salah satu motto yang dibangun Jokowi dan PDIP adalah Indonesia Hebat. Padahal, konsep tawaran Jokowi pada Jakarta pun belum terbilang berhasil. Kegagalan Megawati memimpin di masa silam pun demikian. Tak heran apakah mampu nantinya Jokowi dan PDIP menjadikan Indonesia ini hebat?

Jawabannya tentu bukan sekedar pergantian rezim kekuasaan. Tetapi sistem yang berkuasa pun harus ditilik ulang kembali. Sebab Indonesia masih saja mencari sistem kepemimpinan Ideal untuk negeri ini. Sebab baik sistem Presidensial maupun Parlementer yang ada di Indonesia bukanlah Demokrasi yang baik. Apalagi demokrasi sebagai pusat sistem pemerintahan yang dianut di negeri ini tidak jelas arah dan tujuannya. Tentu ini akan mengarah pada kekacauan dan kekalutan. Oleh karena itu, sistem yang dibangun hari ini haruslah sistem yang memanusiakan manusia. Sistem yang terlahir atas bimbingan dari Allah SWT, yang tak lain diatur melalui aturan agama.

Rizqi Awal
Pengamat Politik Lembaga Analisis Politik Indonesia
Posting Komentar

Posting Komentar