Keterwakilan Perempuan, Solusikah?
Aroma pemilu legislatif sudah mulai tercium, pihak yang berkepentingan di dalamnya pun mulai mengambil ancang-ancang. Termasuk juga kalangan politisi perempuan. Mereka berharap tahun ini keterwakilan perempuan di parlemen semakin meningkat, bahkan mencapai 30% sebagaimana harapan ibu negara Ani Yudhoyono (http://www.sindotrijaya.com/news/detail/4962/ibu-negara-kuota-perempuan-dalam-pemilu-2014-harus-20-30#.UtfuffsT2_J).
Para politisi dan aktivis perempuan berpandangan bahwa peningkatan kuantitas perempuan di parlemen akan berkorelasi positif dengan peningkatan keberpihakan kebijakan negara terhadap perempuan. Sebagaimana jargon, “Cuma perempuan yang paling mengerti perempuan”. Termasuk juga untukmemastikan implementasi pelaksanaan UU yang pro perempuan, serta mempermudah proyek legislasi penyusunan peraturan responsif jender. Sehingga tak heran jika mereka bersemangat sekali untuk mengisi ruang-ruang di lembaga legislatif dengan jumlah sebanyak-banyaknya.
Sedangkan masyarakat, perempuan pada umumnya, turut menyertakan harap bahwa peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen mampu memberi solusi bagi permasalahan yang banyak membelit kaum perempuan.
Pemerintah Indonesia sendiri berusaha sedemikian rupa untuk meningkatan peranserta perempuan di kancah politik, karena hal itu termasuk salah satu variabel dari aspek kebebasan sipil –salah satu aspek penilaian kemajuan demokrasi di negara ini-. Termasuk pula hak politik untuk memilih dan dipilih, variabelnya adalah prosentase perempuan yang dipilih menjadi anggota DPRD.
Efektifkah?
Benarkah jika semakin banyak perwakilan perempuan di parlemen, semakin tuntas permasalahan perempuan? Belum lagi jika kita berbicara masalah kualitas. Parpol-parpol terbukti kebanyakan asalcomot, asal terpenuhi prasyarat kuota caleg perempuan, sehingga masalah kualitas terabaikan. Sebagaimana berita yang mencuat beberapa waktu yang lalu bahwa sebuah parpol menjadikan foto model porno sebagai caleg. Kemudian ada juga caleg artis yang sempat jadi bahan tertawaan di sosmed karena jawaban yang terkesan ‘asal bunyi’ dalam sebuah dialog di stasiun televisi swasta.
Bagaimana mungkin mereka akan berjuang dalam kancah perpolitikan jika tak melek politik? Alih-alih memperjuangkan rakyat, yang ada malah sibuk dengan berbagai skandal yang banyak membelit anggota dewan. Sudah cukup banyak politisi perempuan yang terjerat kasus korupsi –sesuatu yang dianggap mustahil dilakukan oleh perempuan dengan naluri keibuannya-, ada pula yang terjerumus skandal perselingkuhan, serta tindakan amoral lainnya.
Di balik Kesengsaraan Perempuan
Itu jika kita membahas dari sisi personalnya. Namun ternyata ada yang lebih penting, jangan lupa bahwa sistem pemerintahan kita adalah demokrasi. Demokrasilah sistem di balik kesengsaraan perempuan. Secara alami sistem politik sekuler dalam demokrasi tidak akan pernah melahirkan kebijakan atau perundang-undanganyang memihak (mensejahterakan) perempuan dan rakyat secara umum. Ongkos politik demokrasi yang teramat mahal “mengharuskan” adanya politik kartel.
Dan sudah jadi rahasia umum jika pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ini adalah para pemilik modal dimana segala keputusan yang dihasilkan di dalamnya berpihak pada pemilik modal. Ini diakui oleh para politisi, termasuk politisi perempuan.
Ungkapan jujur Sri Mulyani (mantan menteri keuangan) membenarkan hal ini. Menurut Sri Mulyani, untuk mendapatkan dana luar biasa itu, mau tidak mau, kandidat (calon penguasa/aleg) harus "berkolaborasi" dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah, tak mungkin kolaborasi pendanaan dibayar dari penghasilan. Satu-satunya cara yang memungkinkan yakni melalui jual beli kebijakan (tempointeraktif.com, 18/5/2010)
Solusi Hakiki
Ternyata yang jadi dasar persoalan bukanlah jenis kelaminnya, namun sistem perpolitikan yang berlaku. Jika masih saja menggunakan demokrasi yang jelas dasarnya sekuler kapitalistik, jangankan perempuan, rakyat yang berjenis kelamin laki-lakipun tetap hidup dalam kesengsaraan.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sistem Islam. Sistem yang bersandarkan pada aturan Sang Pencipta ini bertujuan untuk menerapkan aturan Islam secara sempurna. Ketika Islam mewajibkan pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, tanpa memandang jenis kelamin serta ciri kodrati lainnya, maka itulah tugas utama pemerintah. ketika Islam memandang perempuan sebagai sosok mulia, begitulah pemerintah berusaha menjaga kemuliaan perempuan dengan tidak membuat aturan yang bisa merendahkan martabat dan menyengsarakan perempuan.
Dengan demikian, sudah selayaknya jika kaum perempuan ingin hidup mulia tanpa diskriminasi, bukan dengan cara memperbanyak jumlah keterwakilan di parlemen, atau partisipasi politik dalam sistem demokrasi. Namun yang harus dilakukan adalah memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang menyejahterakan segala lapisan tanpa memandang perbedaan jenis kelamin.
[]duniaterkini.com | gerilya-dakwah.blogspot.com
Posting Komentar