Koalisi Partasi Islam, Mungkinkah?
Di satu sisi saya sedih, terenyuh dan kasihan, ketika ummat Muslim negeri ini lagi-lagi gigit jari saat harapannya sirna. Harapan itu begitu mulia, dan telah menjadi mimpi yang lama dinanti. Ya, ingin partai-partai Islam bersekutu. Kebetulan akumulasi angkanya tahun ini cukup seksi : 30,2 %. Ini angka yang memberikan pengharapan karena dua alasan : Pertama sudah lama partai Islam tak menggapai akumulasi angka ini; Kedua, angka ini cukup menawarkan daya saing terhadap partai-partai lain dalam pilpres mendatang. Dan koalisi itu memang akhirnya tak terjadi.
Tapi, di sisi lain saya jengkel dan tak mengerti lagi mau berkata apa. Saat gagasan koalisi ini terlontar begitu Quick Count selesai di malam 9 April, sayapun langsung berbisik kepada orang yang masih mau berbaik sangka terhadap ramalan saya : “Berani taruhan, tak akan ada koalisi partai-partai Islam !”. Tentunya saya hanya bisa dan berani berbisik, karena nyali saya memang hanya segitu. Bagaimanapun, saya masih ngilu jika dituduh tak peduli nasib perpolitikan ummat di Nusantara ini. Bagaimanapun, saya belum siap mental jika dianiaya sebagai tak berempati pada ummat.
Entahlah, memang tak mudah bagi saya untuk meyakinkan bahwa politik praktis, politik kepartaian, seharusnya tak pernah menjadi tumpuan ummat. Ini bukan ideologi, gagasan, institusi dan praktek yang lahir dari rahim ajaran Islam. Berkali-kali sudah saya bisikkan, dan memang cuma bisa berbisik, bahwa “agama” setiap parpol hanyalah KEPENTINGAN. Sedangkan moralitas yang mereka gunakan juga hanya satu : FAIR PLAY ! Istilah politik bernurani (Cak Nur), politik bermartabat (SBY) atau politik Islami, itu adalah nama dari harapan-harapan yang sulit melekat pada naluri politik praktis itu sendiri.
Politik praktis adalah kisah tentang seorang yang akan mengeksekusi tendangan penalty. Hanya satu hal yang harus ada di kepalanya : menipu kiper. Jangan pernah bertanya ke mana bola akan dilesakkan. Mungkin ia adalah seorang eksekutor Islami. Ia menendang dengan basmalah dan mengakhirinya dengan hamdalah. Jika gol, maka ia akan sujud syukur. Tapi ada satu hal yang tak akan pernah akan berubah : menipu kiper !!!
Jadi, membaca arah koalisi sebenarnya bukan dengan membaca platform ideologi, tapi bacalah arah angin kepentingan. Ya, arah angin, bukan platform. Premis ini sebenarnya berlaku sejak pemilu 1955 hingga sekarang. Bahkan, saat rejim Soeharto memaksakan “koalisi” (baca : fusi) partai-partai Islam ke dalam PPP, premis ini toh tetap berlaku. Jangan heran jika kemudian terjadi koalisi Mega-Bintang melawan Golkar, karena angin kepentingan memang menuntut itu.
Masalahnya, chemistry kepentingan diantara partai-partai “Islam” memang sulit terwujud. Kalau mau, andai chemistry itu memang ada, cukuplah pada tahun 1998 politisi Muslim bernaung di bawah PPP saja. Namun dengan berbagai dalil dan dalih, ketidakcocokan visi, aspirasi dsb. berdirilah begitu banyak partai “Islam”. Dalam perspektif marketing, dengan membidik ceruk konstituen yang sama, sebenarnya kompetitor dan “musuh” dari partai-partai “Islam” tersebut justru sesama partai “Islam”, bukan dengan partai nasionalis atau sekuler. Lalu, bagaimana kimia kepentingan ini akan dikoalisikan, jika saling melukai itu sebenarnya terjadi diantara sesama mereka ???
Sekarang begini sajalah : jika keikhlasan berkoalisi demi Islam dan ummat itu memang ada, maukah salah satu partai “Islam” itu membubarkan diri dan melebur ke dalam partai “Islam” lainnya ??? Seperti PBB yang selama ini suaranya bak hidup segan mati tak mau. Tapi, di hati kecil saya harapan itu tetap ada : semoga koalisi itu memang nyata... [Oleh : Adriano Rusfi][gerilyadakwah]
Posting Komentar