Memandang Persoalan Buruh Dari Sudut Pandang Islam

Memandang Persoalan Buruh Dari Sudut Pandang Islam
Memandang Persoalan Buruh Dari Sudut Pandang Islam
Beda cara memandang persoalan perburuhan, maka beda pula solusinya. Maka sebagai umat Islam hendaknya mampu memandang setiap persoalan dengan sudut pandang Islam.

Dalam Islam masyarakat tidak terpecah dua dalam kelas, yaitu kelas buruh dan kelas pengusaha, kelas proletar dan kelas borjuis, buruh tani dan tuan tanah, buruh nelayan dan juragan kapal, patron dengan client, dan lain-lain. Tidak. Islam tidak mengenal itu semua. Sebab, mereka yang dikelompokkan dalam kategori buruh itu, dalam Islam seluruhnya disebut dengan ajir (pekerja/buruh/karyawan/pegawai).

Baik ajir itu dari kalangan terpelajar dan terhormat, seperti konsultan, dosen, rektor, editor, layouter, insinyur, para direktur dan manager yang digaji/diupah; ataupun ajir yang mengeluarkan tenaga fisik dan tidak terdidik, seperti buruh pelabuhan, tukang becak, tukang cukur, tukang sayur, tukang sepatu, tukang jahit, buruh pabrik, dan lain-lain. Baik buruh itu bekerja pada perseorangan, kantor swasta, pabrik/lembaga/perusahaan, maupun yang bekerja pada negara (pegawai negeri). Semuanya adalah ajir.
Jadi, semua orang yang bekerja, apapun bentuk pekerjaannya, dalam Islam dinamakan ajir, yaitu pekerja/orang yang memperoleh upah karena telah mengeluarkan atau memberikan manfaat/jasa tertentu. Orang yang mengupahnya dinamakan musta’jir. Dan bentuk transaksi perburuhan/penyewaan tenaga di dalam Islam dikenal dengan istilah ijarah.
Dengan demikian kaum Muslim yang akan melibatkan diri dalam transaksi kerja, baik ia sebagai ajir ataupun musta’jir, wajib mengetahui syarat-syarat, rukun, tata cara serta berbagai bentuk transaksi ijarah, termasuk jika terdapat perselisihan antara dua belah pihak yang mungkin muncul, harus dipecahkan juga dengan hukum Islam. Dari gambaran umum ini saja, kita akan mengerti bahwa transaksi ijarah (perburuhan) hanya melibatkan dua belah pihak, yaitu ajir dan musta’jir, dan bersifat individual.

Ijarah adalah akad/transaksi atas manfaat/jasa yang dikeluarkan ajir dengan memperoleh imbalan berupa upah/ujrah dari musta’jir. Berarti yang mendasari akad/transaksi ini adalah manfaat yang dikeluarkan oleh ajir. Upah/ujrah adalah harga atas manfaat yang dikeluarkan tadi. Jadi setiap buruh atau ajir itu memberikan manfaat yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk pekerjaan, pengalaman/ketrampilan, latar belakang pekerjaan dan lain-lain, sehingga besarnya upah tidak dapat diseragamkan. Upah hanya dapat dinegosiasikan oleh dua belah pihak yang melakukan transaksi (yaitu ajir dan muta’jir). Pemerintah tidak dapat campur tangan, apapun alasannya.

Tugas pemerintah adalah mengatur dan mengurus urusan seluruh rakyat, termasuk bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, baik rakyat itu dari kalangan buruh maupun majikan. Di sinilah letak keadilan Islam, yang tidak berpihak kepada para buruh saja, melainkan juga terhadap para majikan. Negara wajib mengatasi dan menyingkirkan bentuk dan tindakan zalim, baik yang dilakukan oleh majikan terhadap buruh atau sebaliknya. Membiarkan kezaliman berlangsung adalah perbuatan dosa dan maksiat, dan ini diharamkan oleh Allah Swt.

Apabila negara membiarkan kezaliman berlangsung, maka seluruh rakyat (kaum Muslim) harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengkritik penguasa, dan meluruskannya. Jadi, bukan kewajiban para buruh semata, akan tetapi sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat (kaum Muslim) menyingkirkan kezaliman. Jika rakyat tidak mampu meluruskan penguasanya, persoalan ini dilimpahkan kepada mahkamah mazhalim. Keputusan mahkamah mazhalim wajib dijalankan, sehingga pembangkangan penguasa atas keputusan ini membolehkan kaum Muslim memaksa penguasa tersebut tunduk pada keputusan mahkamah mazhalim, meski dengan fisik/senjata.

Atas dasar ini, Islam tidak memasukkan persoalan-persoalan yang menyangkut kebutuhan buruh akan kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua, imbalan pensiun atau PHK, biaya rekreasi, perumahan, dan lain-lain dalam transaksi ijarah. Sebab, definisi ijarah itu hanya berkait dengan manfaat yang diberikan oleh ajir, serta dihargakan dengan upah yang disepakati oleh dua belah pihak. Titik.

Wajar, jika manfaat yang diberikan itu sedikit, maka upahnya juga kecil sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Di sinilah kewajiban penguasa untuk mendidik dan memberikan ketrampilan bagi rakyatnya semaksimal mungkin, di samping menyediakan lapangan kerja dengan menciptakan iklim berusaha yang positif. Jadi, tidak dibebankan tanggung jawab ini kepada para majikan, lalu penguasa berlepas tangan, sebagaimana yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis. Jangankan mendidik, para majikan itu justru menindas para buruh, membodohi buruh, dan mencekik buruh.

Transaksi ijarah juga tidak berhubungan dengan hak-hak politik warga negara, sebab transaksi ini melibatkan ajir dan musta’jir, serta memfokuskannya hanya pada manfaat yang dikeluarkan dan harga atas manfaat (upah). Jadi, tidak dapat disamakan hubungannya seperti antara rakyat dengan penguasa. Sehingga tidak dibenarkan dan tidak pernah ada faktanya dalam Islam memasukkan hak-hak berbicara, berkumpul, dan berserikat dalam transaksi perburuhan, apalagi memasukkan isu tentang penerapan HAM. Sebab persoalan-persoalan ini sudah dijamin kesempatan dan pelaksanaannya dalam sistem Islam bagi seluruh kaum Muslim.

Oleh karena itu setiap orang yang sudah menyetujui transaksi ijarah, baik ia sebagai ajir (buruh) maupun musta’jir (majikan) wajib mentaati dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Karena menepati dan menetapi perjanjian (akad) di dalam Islam itu termasuk kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Melalaikan kewajiban itu merupakan dosa besar dan kesalahan yang patut diganjar dengan sanksi atau hukuman yang berat.

Maka kewajiban ajir (buruh) adalah bekerja sesuai dengan bentuk pekerjaan yang disepakati dengan musta’jir, menepati waktu kerja (jam kerja dalam sehari, hari dalam seminggu dan sebagainya), termasuk masa berlakunya kontrak tersebut. Dan kewajiban musta’jir adalah memberinya upah sesuai besarnya dengan kesepakatan kedua belah pihak, tepat pada waktunya, tanpa ditunda-tunda lagi. Kelalaian secara sengaja dari musta’jir, akan menyeret mereka ke dalam peradilan Islam. Dan peradilan Islam dapat memaksa musta’jir untuk membayar upah.

Dengan demikian, jika sistem perburuhan Islam ini diterapkan (karena memang hukum-hukumnya jelas, termasuk jika terdapat perselisihan), maka tidak akan pernah dijumpai persoalan perburuhan, yang saat ini sudah menyeret-nyeret unsur politik dan hak-hak buruh sebagai warga negara. Tidak akan ada pemogokan buruh, karena semuanya merujuk pada transaksi perorangan yang telah disepakati oleh ajir dan musta’jir sebelumnya.

Bila buruh tetap melakukan pemogokan untuk menekan dan memaksa musta’jir membayar upah lebih banyak dari yang disepakati dalam transaksi, hal itu berarti pengkhianatan terhadap akad, yang dikecam oleh Islam, dan pelakunya berhak memperoleh sanksi yang berat. Firman Allah Swt:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. "(QS. Al Maidah: 1)
Oleh: Agus Trisa []gerilyadakwah
Posting Komentar

Posting Komentar