Kegagalan Paradigma Sekulerisme Dalam Pendidikan

Kegagalan Paradigma Sekulerisme Dalam Pendidikan
Kegagalan Paradigma Sekulerisme Dalam Pendidikan
Selama bertahun-tahun, tiap tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan senantiasa diperingati. Banyak sekali retorika dan slogan yang mengajak pada pendidikan yang lebih baik demi masa depan negeri. sayangnya, harapan-harapan itu hanya berbekas sebagai harapan belaka, sementara kondisi pendidikan negeri ini tidak ada perubahan sama sekali.

Lihat saja output yang dihasilkan sistem pendidikan Indonesia, atau bahkan yang masih dalam proses belajarnya itu sendiri. Untuk yang masih belajar, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak tindakan kriminalitas yang terjadi di kalangan mereka. Tawuran tanpa henti, bullying, pecandu narkoba, pacaran, geng motor, sampai seks bebas, melanda para pelajar bagaikan epidemik yang siap memusnahkan generasi, tidak terkecuali yang masih duduk di sekolah dasar sekalipun. Kriminalitas itu bahkan layaknya gunung es, yang tampak baru sebagian kecilnya saja. Yang lebih buruk lagi banyak yang masih belum terungkap.

Belum lagi mentalitas para pelajar yang gagal dibina, sehingga seringkali tidak memiliki idealisme dan mudah sekali berbuat curang. Di sisi lain, para pelajar juga disiksa dengan pengungkungan kreativitas, tumpukan teori, dan tuntutan mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yang akhirnya membentuk siswa menjadi PPN (Para Pencari Nilai), tanpa peduli apa dia bisa memahami apa yang diujikan atau tidak. Tanpa sadar, terjadi pembunuhan kepribadian para siswa dengan mekanisme seperti ini.

Belum lagi UN yang tidak henti-hentinya jadi kontroversi. Sampai klimaksnya di tahun 2014, kekacauan pelaksanaan UN yang sangat jauh dari perkiraan jadi blunder besar dari Menteri Pendidikan dan berujung pada tuntutan besar-besaran untuk menghapuskan UN yang dirasa tidak adil ini. kecurangan, joki, dan air mata buaya senantiasa menghiasi UN dari tahun ke tahun, menambah ruwet persoalan pendidikan yang ada.

Hasilnya, lulusan sekolah menengah pun hanya menjadi siswa-siswa miskin keahlian dan tidak bisa memberdayakan potensi, karena pengekangan paksa yang dilakukan oleh kurikulum. Bahkan banyak diantaranya yang malah jadi lulusan bejad dan kriminal, yang kalau tidak segera ditangani, maka akan berakhir sebagai sampah masyarakat.

Di kalangan civitas akademika universitas, para mahasiswa di-tuningmenjadi mahasiswa pengejar IPK tinggi dan kaya sertifikat seminar. Kuliah dibuat begitu padat dan praktikum dilaksanakan nyaris tanpa henti, sedikit sekali menyisakan waktu untuk berkreativitas dan melaksanakan tugas mahasiswa sebagai agent of change and social control. Ujung-ujungnya, mahasiswa dibentuk menjadi kumpulan robot study-oriented individualistis yang masa bodoh dengan kondisi pergolakan di sekitarnya. Yang penting baginya hanyalah IPK tinggi, pengalaman organisasi setengah hati, yang outputnya agar mereka bekerja di perusahaan bonafid, menjadi robot pelayan kapitalis global, yang mana mereka bangga dengannya dan, ironisnya, malah didorong besar-besaran oleh sebagian dosennya sendiri.

Sejak dulu, berbagai pengamat pendidikan dan orang-orang yang concern terhadap aspek pendidikan ini sebenarnya memang memahami bahwa pendidikan negeri ini bermasalah, sakit parah. Hanya saja, analisis yang dilakukan masih belum mengakar dan solusi yang ditawarkan pun hanya sekadar menambal panci bocor.

Dianggapnya persoalan yang melanda adalah kerusakan moralitas para peserta didik, maka disusunlah Kurikulum 2013 yang katanya berusaha untuk menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik, serta berorientiasi pada proses. Sayangnya, pendidikan karakter yang dimaksud hanya karakter yang didasarkan pada filsafat humanisme yang bersifat universal, sementara peran agama masih terlihat abu-abu, tidak jelas. Sementara, isi dari struktur kurikulumnya tidak banyak berubah. Kurikulum di bidang sains tetap hanya berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berfikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab pada lingkungan alam, yang sebenarnya tidak nyambung, mengingat sains pada dasarnya tidak bisa membentuk kepribadian. Sementara, di bidang sosial, yang diajarkan juga tidak berubah. Tetap ilmu sosiologi yang dikembangkan para filsuf dan ekonomi kapitalisme-liberal ala Adam Smith. Lagi-lagi, kentara sekali tawaran kurikulum ini hanya sebatas tambal sulam atas persoalan pendidikan negeri ini yang sudah stadium akhir.

Paradigma sekulerisme telah gagal dalam mengelola pendidikan dengan benar. Kurikulum yang tidak jelas mau dibawa kemana, infrastruktur dan suprastruktur pendidikan yang tidak merata dan kacau balau, pemisahan (atau minimalisasi) antara pengajaran agama dengan pendidikan formal, serta intervensi pihak asing (dalam hal ini UNESCO) dalam urusan pendidikan, sukses menjadian output pendidikan negeri ini hancur-hancuran. Sebagian siswa yang memiliki otak cemerlang dialihkan perannya menjadi robot pelayan kapitalis, atau pindah ke luar negeri karena tidak dihargai di dalam negeri. Sebagian lainnya berakhir menjadi sampah masyarakat yang tidak mampu menghasilkan apa-apa kecuali masalah.

Dipisahkannya agama dari pendidikan formal makin membuat persoalan jadi ruwet. Para siswa menjadi kumpulan pelajar yang kering secara rohani dan miskin pengetahuan agama sebagai tuntunan hidup. Akibatnya, para siswa jadi kehilangan arah dalam hidup dan terbentuk menjadi manusia-manusia sekuler-liberal, yang kelak sadar tidak sadar akan menjadi penerus hegemoni kaum kapitalis global untuk melanjutkan penjajahannya terhadap negeri ini. kalau terus seperti ini, maka bersiap-siaplah negeri ini akan menemui kehancurannya.

Islam memiliki paradigma sendiri dalam mengurusi masalah pendidikan formal. Pendidikan Islam mengatur agar membentuk generasi berkepribadian Islam dan menguasai saintek, serta mempersiapkan peserta didik untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya. Jadi bukan sebagai pemburu nilai miskin pemahaman agama. Pola tingkah laku para peserta didik dibentuk berdasarkan akidah Islam dan tingkah lakunya dibentuk agar senantiasa mengikuti tuntunan syariah, baik dalam pola pikir maupun pola sikap.

Para peserta didik juga dibentuk agar menguasai saintek untuk mengarungi kehidupan dan mengembangkan inovasi. Pada tingkat pendidikan tinggi, para peserta didik dibentuk pula untuk menjadi pakar dan inovator lebih lanjut.

Dengan kata lain, tidak ada dikotomi antara pendidikan agama (dalam hal ini Islam) dan penguasaan saintek. Di sisi lain, pendidikan Islam tidak akan mengajarkan pemahaman-pemahaman yang berasal dari akidah sekulerisme, misalnya demokrasi, kewarganegaraan, ekonomi kapitalisme, dan sebagainya. Hal-hal demikian hanya akan diajarkan pada pendidikan tinggi, itupun sekadar untuk membuktikan kegagalan dan kerusakan konsepnya. Secara singkat, pendidikan Islam membentuk seorang cendekiawan yang juga faqih dalam ilmu-ilmu keislaman.

Paradigma pendidikan Islam ini tentu saja hanya bisa berjalan efektif jika lingkungannya kondusif dan dijalankan atas syariah Islam juga. Seluruh hal ini bersifat integral, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Maka, hanya dengan menegakkan sistem Islam saja, yakni Khilafah, paradigma pendidikan Islam ini dapat diberlakukan secara efektif. Sehingga, kasus-kasus kriminalitas pelajar, mentalitas robot pelayan, sampai miskinnya kreativitas siswa, tidak akan ditemukan lagi. Dengan sistem pendidikan Islam yang diterapkan Khilafah, para generasi muda akan dibentuk supaya siap menjadi generasi pemimpin umat Islam di masa mendatang.

Andhika Putra Dwijayanto
Kadiv. Kaderisasi Gema Pembebasan Komisariat UGM
Posting Komentar

Posting Komentar