Mempertanggungjawabkan Dosa Kolektif

Dalam sebuah sidang pengadilan umum, segerombolan pemabuk yang menjadi terdakwa dihadapkan ke meja hijau. Mereka ditanya oleh Pak Hakim, “Mengapa kalian mabuk-mabukan? Apa kalian tak tahu itu melanggar hukum?”

“Kami biasa mabuk-mabukan karena begitu mudahnya kami mendapatkan miras yang dijual bebas. Kami tak akan mabuk kalau tak ada yang diminum. Kalau mau disalahkan, ya salahkan saja para penjual mirasnya, Pak Hakim,” jawab mereka enteng.

Di samping para pemabuk duduk berjajar para pedagang miras. Hakim bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian menjual miras? Kalian tahu kan, miras itu merusak generasi kita!”

“Betul Pak Hakim,” jawab para pedagang miras. “Tapi, kami tentu tak akan menjual miras jika tak ada pabrik yang memproduksi dan menawari kami minuman memabukkan itu. Kami hanya penjual. Jika ada barang yang bisa dijual dan ada pembelinya, ya kami sediakan. Yang penting kami untung. Kalau kami salah, harusnya Pak Hakim juga menyalahkan para pemilik pabrik miras itu.” Kata mereka sambil menunjuk kepada para pengusaha pabrik miras di sebelah mereka.

“Sebentar Pak Hakim,” kata para pengusaha pabrik miras itu. “Kami hanyalah para pengusaha. Selama ini usaha kami tak melanggar hukum. Toh, miras sudah dilegalisasi. Ada UU-nya. Jadi, jangan kami disalahkan, dong. Kalau mau disalahkan,ya Pemerintah dan para wakil rakyat. Mengapa mereka melegalisasi miras?!” Sergah mereka sebelum ditanya dan disalahkan Pak Hakim.

Pak Hakim kemudian berpaling kepada wakil dari Pemerintah dan para anggota DPR yang terhormat. “Mengapa Bapak-bapak kok bisa-bisanya mengeluarkan peraturan yang melegalisasi miras? Bukankah Bapak-bapak lebih tahu dampak buruk miras bagi generasi kita?”

“Betul, Pak Hakim. Tapi, kalau tidak dilegalkan, akan banyak aneka jenis miras yang ilegal beredar di tengah-tengah masyarakat tanpa kontrol negara. Ini lebih berbahaya. Jadi, legalisasi miras juga demi mengontrol peredaran miras ilegal. Selain itu, miras legal kan tetap bisa mendatangkan keuntungan bagi negara dalam bentuk pajak miras. Lagi pula kami ini wakil rakyat. Kami punya kuasa penuh. Kami berhak membuat aturan apapun karena kami telah diberi mandatoleh rakyat. Salahnya rakyat, mengapa mau memilih kami dan menyerahkan mandat mereka kepada kami,” tegas para wakil rakyat yang diamini oleh wakil dari pihak Pemerintah.

Rakyat, yang juga bersaksi di pengadilan umum itu, tentu tak mau disalahkan. Buru-buru mereka membela diri, “Pak Hakim, kami sadar, ini negara demokrasi yang memberikan kewenangan kepada penguasa dan wakil rakyat untuk membuat aturan apapun. Kami pun tahu, jauh sebelum Pileg dan Pilpres, tak ada satu pun di antara para caleg serta capres-cawapres yang berkomitmen untuk menerapkan syariah Allah SWT. Namun, kami toh harus tetap memilih mereka. Pasalnya, menurut MUI golput itu haram, sementara MUI tak mengharamkan kami memilih penguasa dan wakil rakyat yang tak mau menerapkan syariah Islam. Jadi, maaf, para ulama itu juga..apa tidak salah, Pa Hakim?” Tanya rakyat setengah menggugat sambil melirik ke arah wakil ulama yang duduk di depan mereka…

*****
Demikian sebuah postingan bagus pada laman facebook di wall saya; sebuah dialog imajiner, yang sedikit saya modifikasi.

Selain para pemabuk yang enggan disalahkan secara sepihak sebagaimana dalam dialog imajiner di atas, para pelacur/para pezina dan para penikmatnya juga pasti berpendirian serupa. Para pelacur/pezina akan berdalih bahwa mereka adalah para pekerja legal. Toh sebutan resmi “pekerja seks komersial” sudah lebih dulu mereka dapatkan dari Pemerintah. Apalagi mereka ‘bekerja’ di tempat lokalisasi yang telah dilegalkan oleh para wakil rakyat dan dipungut pajaknya oleh Pemerintah. Alasan yang sama pasti juga dikemukakan oleh para penikmat seks komersial alias para lelaki hidung belang.

Demikian pula para pelaku riba, para penegak hukum yang memutuskan perkara bukan dengan hukum-hukum Allah SWT dan tentu para pejabat yang menjalankan sistem sekular. Ujung-ujungnya, lagi-lagi kesalahan berpulang kepada rakyat yang telah memilih penguasa dan para wakil mereka.
Tentu tak ada yang salah dengan memilih penguasa dan wakil rakyat. Dalam Islam pun, penguasa dan wakil rakyat dipilih oleh rakyat. Yang salah adalah saat penguasa maupun para wakil rakyat diberi mandat penuh untuk membuat UU dan peraturan sesuai dengan kehendak dan hawa nafsu mereka. Padahal dalam Islam, penguasa diangkat hanya untuk menerapkan syariah Allah SWT. Wakil rakyat juga dipilih dalam rangka mengawasi penguasa agar sungguh-sungguh menerapkan syariah-Nya, bukan malah membuat hukum yang lain.

Namun, ya itulah sistem demokrasi. Sistem ini sejak awal memberi penguasa dan wakil rakyat—sebagai pemilik kedaulatan—kewenangan mutlak untuk membuat ragam UU dan peraturan sesuai dengan kehendak dan hawa nafsu mereka; terlepas dari sesuai atau bertentangan dengan syariah Allah SWT.

Jika demikian, demokrasi sebetulnya melahirkan ‘dosa kolektif’. Bukan hanya para pemabuk, para pedagang miras dan para pemilik pabrik miras yang salah. Bukan hanya para pelacur, para germo, lelaki hidung belang dan para pemilik tempat pelacuran legal yang bermaksiat. Bukan hanya para penguasa, wakil rakyat dan rakyat itu sendiri yang keliru. Ulama juga berdosa. Dosa yang sama juga menimpa para da’i dan para mubalig, termasuk partai dan ormas Islam yang mendiamkan semua ini terus terjadi.

Dosa mereka tentu lebih besar lagi karena bukan hanya miras dan pelacuran yang dilegalkan. Banyak UU dan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dan wakil rakyat yang melegalkan banyak perkara yang justru berten-tangan dengan syariah Islam seperti: utang luar negeri berbasis riba; perbankan ribawi; penguasaan kekayaan milik umum oleh pihak asing; pajak yang memberatkan rakyat; dll.
Semua itu tentu berpangkal pada sistem sekular yang terus dibiarkan bercokol di negeri ini, bahkan terus dipelihara dan dirawat oleh bangsa ini. Tak ada upaya dari berbagai komponen bangsa ini—kecuali segelintir orang—yang sungguh-sungguh berupaya memperjuangkan tegaknya syariah Allah SWT secara kaffah di semua lini kehidupan, tentu dalam sistem Khilafah.

Alhasil, ‘dosa kolektif’ ini harus dipertanggungjawabkan oleh semuanya di Akhirat nanti, tentu di hadapan Allah SWT, Hakim Yang Mahaadil. Siapkah kita?!

Wa ma tawfiqi illa bilLah.[Arief B. Iskandar]
Posting Komentar

Posting Komentar